Bisnis.com, JAKARTA–Pengusaha Tanah Air percaya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mampu menutup lubang penerimaan yang timbul akibat serangkaian relaksasi pajak dalam Omnibus Law Perpajakan.
Wakil Ketua Tetap Bidang Perpajakan Kamar Dagang (Kadin) Indonesia sekaligus Ketua Umum Perkumpulan Konsultan Praktisi Perpajakan Indonesia (Perkoppi) Herman Juwono menilai dengan meningkatnya jumlah KPP Madya dari 20 menjadi 38 KPP Madya, secara otomatis pengawasan WP akan ikut meningkat.
"Dengan mengubah KPP Pratama menjadi KPP Madya maka DJP akan lebih fokus mencari data yang sesuai dengan sebenarnya," kata Herman, Senin (10/2/2020).
Menurut Herman, UMKM yang sudah naik kelas karena pengenaan PPh Final sebesar 0,5% untuk usaha dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar memiliki peluang untuk diintensifkan.
"Ada 60 juta UMKM dan mestinya ada yang sudah naik kelas, DJP akan pantau yang naik kelas juga," kata Herman.
Direktur Pemeriksaan dan Penagihan DJP Irawan mengatakan pemeriksaan dan penagihan atas WP akan semakin baik mengingat dengan adanya Compliance Risk Management (CRM).
"Sekarang kita bisa tahu seberapa besar risikonya. Nanti ditentukan alokasi SDM-nya, jadi kita bisa alokasikan SDM yang ada dengan sesuai," kata Irawan, Selasa (11/2/2020).
Melalui CRM, masing-masing WP dipetakan berdasarkan tingkat kontribusi WP terhadap penerimaan berdasarkan omzet, PPh terutang, potensi, piutang pajak, serta tingkat ketidakpatuhan WP.
Namun, Herman mengatakan untuk saat ini masih sulit bagi pemerintah untuk mencapai target penerimaan pajak sesuai dengan yang ditetapkan dalam APBN.
Hal ini tidak terlepas dari regulasi yang mewajibkan pemerintah bersama parlemen untuk menyepakati APBN tahun selanjutnya pada bulan Oktober.
Oleh karena itu, target pajak yang ditentukan dalam APBN tidak akan sesuai dengan realitas karena target pajak tahun sesudahnya sudah ditentukan sebelum APBN tahun berjalan berakhir.
Dengan demikian, DJP memiliki PR untuk meningkatkan tax ratio agar setidaknya shortfall pajak bisa diminimalkan.