Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Defisit Transaksi Berjalan 2019 Turun, Jangan Tenang Dulu!

Defisit transaksi berjalan (current account deficit) Indonesia sepanjang 2019 menyempit jadi US$30,4 miliar atau setara dengan 2,72% dari total produk domestik bruto (PDB) dibandingkan dengan capaian 2018 sebesar US$30,6 miliar atau 2,94% dari PDB.
Suasana bongkar muat peti kemas di Jakarta International Container Terminal, Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (8/1/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam
Suasana bongkar muat peti kemas di Jakarta International Container Terminal, Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (8/1/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA-Defisit transaksi berjalan (current account deficit) Indonesia sepanjang 2019 menyempit jadi US$30,4 miliar atau setara dengan 2,72% dari total produk domestik bruto (PDB) dibandingkan dengan capaian 2018 sebesar US$30,6 miliar atau 2,94% dari PDB.

Bank Indonesia mencatat hal tersebut disebabkan neraca barang yang kembali surplus sebesar US$3,5 miliar karena kinerja impor yang melambat dibandingkan ekspor.

Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengarakan perbaikan tersebut terjadi seiring diterapkannya berbagai upaya pemerintah untuk mengekang impor, termasuk B20 dan program substitusi impor yang berhasil melampaui dampak buruk dari melemahnya pertumbuhan global yang membuat permintaan ekspor menurun.

"[Namun] Kami memperkirakan current account deficit 2020 akan sedikit melebar menjadi 2,88% dari PDB. Angka tersebut naik tipis dari perkiraan defisit pada 2019 sebesar 2,70% dari PDB karena perbaikan iklim investasi dapat meningkatkan impor bahan baku dan barang modal," kata Andry, Senin (10/2/2020).

Mengacu pada data Bank Indonesia, neraca pembayaran Indonesia (BoP) pada 2019 tercatat surplus US$4,7 miliar jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mengalami defisit US$7,1 miliar (yoy). Capaian tersebut mampu meningkatkan cadangan devisa menjadi US$129,2 miliar atau naik dari realisasi 2018 sebesar US$120,7 miliar (yoy).

Andry memperkirakan cadangan devisa akan naik di kisaran US$130 miliar-US$135 miliar pada akhir 2020 sehingga dapat mendukung ketahanan dan stabilitas sektor eksternal. Hal tersebut disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi utama yang lesu dan sikap moneter Fed yang dovish sehingga menarik lebih banyak aliran modal ke pasar negara berkembang (emerging markets/EM), termasuk Indonesia.

"Meski demikian, kinerja ekspor diprediksi masih akan tertekan lantaran melemahnya pertumbuhan global karena beberapa faktor, misalnya perang dagang, ketidakpastian geopolitik, dan yang paling baru ketakutan akan wabah virus Corona dari China," ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper