Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Industri Manufaktur Belum Berhasil Keluar dari Tekanan pada 2019

Tekanan terutama terjadi atas Industri Besar dan Sedang (IBS), yang justru mengalami stagnansi pertumbuhan atau bahkan menderita kontraksi.
Aktivitas karyawan di pabrik karoseri truk di kawasan industri Bukit Indah City, Purwakarta, Jawa Barat, Kamis (13/2/2018)./Bisnis-Nurul Hidayat
Aktivitas karyawan di pabrik karoseri truk di kawasan industri Bukit Indah City, Purwakarta, Jawa Barat, Kamis (13/2/2018)./Bisnis-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA — Tahun 2019 dinilai bakal tercatat sebagai tahun yang buruk bagi pertumbuhan sektor manufaktur. Hal ini tidak terlepas dari iklim perekonomian yang tidak mendukung.
 
Tekanan terutama terjadi atas Industri Besar dan Sedang (IBS), yang justru mengalami stagnansi pertumbuhan atau bahkan menderita kontraksi.
 
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio menerangkan perang dagang serta perlambatan pertumbuhan ekonomi China memberikan pukulan telak terhadap pertumbuhan IBS. Selain faktor global, stagnansi daya beli masyarakat juga turut menekan performa sektor manufaktur pada 2019.
 
"Beberapa industri dengan pangsa besar seperti otomotif terkena dampak dari beberapa sebab tersebut. Industri lainnya seperti karet juga terdampak, karena harga internasional yang belum cukup kompetitif," tuturnya kepada Bisnis, Selasa (4/2/2020).
 
Sebaliknya, Industri Menengah dan Kecil (IMK) yang tidak terkoneksi dengan pasar global dan tidak bergantung pada ekspor cenderung diuntungkan akibat situasi global yang tidak pasti.
 
Adapun Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan produksi IMK mampu mencapai 5,8 persen pada 2019, jauh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, yang hanya 4,86 persen.
 
"Namun, hal tersebut bukan menjadi sesuatu yang kita patut berbangga berlebihan karena banyak di antaranya juga mengalami perlambatan ketika daya beli domestik menurun," tutur Andry.
 
Dengan demikian, ada indikasi bahwa pertumbuhan sektor manufaktur sepanjang 2019 bakal lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. 
 
"Hal ini tercermin di performa IBS kita yang turun. Performa manufaktur bisa baik ketika performa IBS juga baik," terangnya.
 
Selain situasi global yang kurang menentu, hingga saat ini, masih belum ada langkah konkret dari pemerintah untuk memperbaiki kinerja manufaktur yang terus turun dan menyusut kontribusinya terhadap PDB.
 
BPS mencatat pada 2017, sektor manufaktur masih berkontribusi sebesar 20,16 persen terhadap PDB. Pada 2018, kontribusinya menyusut menjadi 19,86 persen.

Untuk 2019, secara rata-rata tercatat kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB sepanjang kuartal I/2019 hingga kuartal III/2019 hanya sebesar 19,9 persen.
 
Investasi sektor manufaktur yang terus tertekan juga menunjukkan persepsi investor atas Indonesia masih cenderung kurang baik untuk sektor manufaktur. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia dinilai memiliki daya saing yang rendah sehingga investasi pada sektor manufaktur di Indonesia tidak memungkinkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Muhamad Wildan
Editor : Annisa Margrit
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper