Bisnis.com, JAKARTA - Purchasing Manager's Index (PMI) Indonesia pada awal 2020 masih tertekan. IHS Markit menyatakan sektor manufaktur tercatat telah merumahkan sebagian tenaga kerja dan mengurangi serapan bahan baku.
Ekonom Prinsipal IHS Markit Bernard Aw mengatakan tekanan pada sektor manufaktur terus berlanjut hingga awal tahun ini dari medio 2019. Hal tersebut, lanjutnya menunjukkan penurunan performa kegiatan operasi pada Januari 2020.
"Permintaan pada sektor manufaktur melemah seiring 2020 dimulai. Kontrak penjualan baru yang menurun berkontribusi pada melebarnya kapasitas idle yang pada akhirnya mengakibatkan rendahnya serapan tenaga kerja," katanya dalam keterangan tertulis, Senin (3/2/2020).
Seperti diketahui, PMI Indonesia pada awal 2020 jatuh 20 basis poin (bps) dari 49,5 pada akhir 2019 menjadi 49,3. Di samping itu, PMI Januari 2020 menjadi PMI terendah dibandingkan bulan yang sama sejak 2016.
Rendahnya PMI Januari menjadikan PMI Indonesia berturut-turut berada di bawah level 50,0 tujuh bulan berturut-turut. Adapun, PMI terendah masih berada pada awal kuartal IV/2019 yakni 47,7.
Bernard berujar pelaku industri lebih memilih menggunakan stok di gudang industri daripada menyerap bahan baku baru. Hal itu, lanjutnya, menjadikan Januari 2020 sebagai bulan keduabelas rendahnya tingkat serapan bahan baku.
Baca Juga
Selain itu, Bernard mencatatkan tumbuhnya harga bahan baku membuat harga produk jadi tinggi. Alhasil, upaya menaikkan daya saing, penurunan penjualan, dan menurunnya nilai tukar dolar Amerika Serikat memaksa pabrikan untuk mendiskon barang hasil produksi.
Walau demikian, Bernard menyatakan optimisme pelaku industri untuk 12 bulan ke depan masih tercatat tinggi. Hal tersebut didorong oleh rencana ekspansi pabrikan, proyeksi peningkatan penjualan, dan usaha peningkatan produktivitas.
"Namun demikian, optimisme tersebut dapat pudar dengan cepat jika permintaan ke pabrikan terus menurun dalam bulan-bulan mendatang," paparnya.
Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI) menyatakan rendahnya serapan produk industri hulu tekstil dan produk tekstil berlanjut hingga awal 2020.
"Desember [2019] itu menurut sumber kami sudah masuk [pasokan bahan baku TPT untuk] 2 - 3 bulan [ke depan]. Begitu dipotong aliran barangnya, stok di gudang [industri] sudah banyak," kata Anggota Eksekutif APSyFI Prama Yudha Amdan kepada Bisnis.com, Senin (3/2/2020).
Prama menambahkan kelesuan industri TPT nasional juga terlihat dari melambatnya proses produksi tahunan. Prama menyampaikan proses produksi pabrikan pada awal tahun ini molor sekitar 1 - 2 minggu.
Selain itu, lanjutnya, pabrikan pada awal 2020 hanya memanggil karyawan tetap dan menunda pemanggilan karyawan kontrak. Prama menilai hal tersebut disebabkan oleh penuhnya pasokan barang TPT di gudang-gudang industri lantaran masih ada sisa produk impor di pasaran.
Sekretaris Jenderal Inaplas Fajar Budiyono mengatakan tidak sinkronnya aturan antaran industri hulu dan hilir petrokimia membuat permintaan lokal yang tinggi selama ini diisi oleh produk impor.
"Yang tertekan itu di semua [industri] plastik hilir seperti houseware, packaging, dan building material. Sebenarnya permintaanya cukup bagus, tapi industri ini ketidakpastiannya tinggi banget karena aturan-aturannya belum sinkron," kata Sekretaris Jenderal Inaplas Fajar Budiyono kepada Bisnis.com, Senin (3/2/2020).
Namun demikian, menurutnya, mewabahnya virus korona dapat menjadi peluang pabrikan lokal untuk memanfaatkan melambatnya pasokan dari Negeri Tirai bambu.