Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Produsen Olefin, Aromatik, dan Plastik (Inaplas) menyatakan kondisi pabrikan terus tertekan sejak awal semester II/2019 hingga awal 2020. Asosiasi menilai keadaan tersebut sejalan dengan indeks PMI Indonesia yang terus dibawah level 50,0 pada periode yang sama.
Seperti diketahui, PMI Indonesia pada awal tahun terkoreksi 20 basis poin (bps) dari 49,5 pada akhir 2019 menjadi 49,3. Adapun, posisi PMI di bawah level 50,0 menunjukkan sektor manufaktur suatu negara sedang terkontraksi.
"Yang tertekan itu di semua [industri] plastik hilir seperti houseware, packaging, dan building material. Sebenarnya permintaanya cukup bagus, tapi industri ini ketidakpastiannya tinggi banget karena aturan-aturannya belum sinkron," kata Sekretaris Jenderal Inaplas Fajar A.D Budiono kepada Bisnis.com, Senin (3/2/2020).
Fajar menambahkan tidak sinkronnya aturan antaran industri hulu dan hilir petrokimia membuat permintaan lokal yang tinggi selama ini diisi oleh produk impor. Namun demikian, menurutnya, mewabahnya virus korona dapat menjadi peluang pabrikan lokal untuk memanfaatkan melambatnya pasokan dari Negeri Tirai bambu.
Fajar berujar pemerintah terus mendorong peningkatan produksi pada industri hulu petrokimia, sedangkan industri hilirnya justru ditekan dengan pelarangan kantong plastik, cukai kantong plastik, dan pengetatan impor skrap plastik.
Selain itu, lanjutnya, pemberian insentif senilai Rp11 miliar pada Pemerintah Daerah (Pemda) yang berhasil mengurangi timbunan sampah melalui pelarangan plastik merupakan hal yang kontraproduktif. Menurutnya, perlu ada dialog antara pelaku industri dan regulator terkait sinkronisasi aturan antara industri hulu dan hilir petrokimia.
Adapun, Fajar mencatat serapan bahan baku selama 7 bulan terakhir menurun. Menurutnya, penurunan terbesar terjadi pada industri daur ulang plastik akibat pengetatan impor skrap plastik oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Fajar mendapatkan laporan bahwa utilitas pabrikan industri daur ulang plastik pada Januari merosot 25 persen menjadi di bawah level 70 persen. Fajar menyampaikan impor skrap plastik tersebut dibutuhkan lantaran skrap plastik domestik tidak bisa diolah.
"Industri daur ulang dengan ada pelarangan-pelarangan [penjualan]ada yang beralih ke material lain [selain plastik], sehingga bahan baku [hasil daur ulang plastik] tertentu tidak ada, terutama HDPE [high density polyethylene]," jelasnya.
Seperti diketahui, KLHK mencatat sekitar 14 persen dari total sampah merupakan skrap plastik. Dengan kata lain, ada ebih dari 9 juta ton skrap plastik yang tersedia di dalma negeri.
Namun demikian, Fajar menilai sebagian besar skrap plastik tersebut tidak bisa didaur ulang karena manajemen sampah nasional yang masih buruk. Menurutnya, harus ada dialog untuk menemukan perbaikan manajemen sampah antara regulator dan pelaku industri.
"Kalau [manajemen sampah] yang berhasil contoh Thailand, kalau yang gagal Banglades. Sampai hari ini [manajemen sampah Banglades] bermasalah karena pelarangan plastik, ganti pemerintahan tetap saja banjir, kumuh, dan sanitasinya jelek," katanya.
Fajar menambahkan Thailand mulai membenahi manajemen sampahnya dan berhasil merubah predikat "Pulau Sampah" menjadi saah satu negara yang bersih di Asia Tenggara.