Bisnis.com, JAKARTA - Potensi karbon Indonesia yang bisa dijual ke pasar domestik dan internasional dinilai cukup besar, tak terkecuali dari lahan gambut.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ruandha Agung Suhardiman mengatakan dari gambut saja, keuntungan yang bisa didapat negara mencapai Rp70 triliun.
"Kalau gambut kita dipelihara bagus, restorasi dengan bagus, itu bisa 5 kali lipat. Nilainya bisa Rp350 triliun," ujarnya usai melaporkan draf terkait perdagangan karbon di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kamis (16/1/2020).
Menyitir data Global Wetlands, total luas lahan gambut di Indonesia sebesar 22,4 juta hektare (ha). Jumlah ini yang bisa diperdagangkan melalui pasar karbon.
Selain gambut, potensi karbon dari hutan kayu Indonesia juga terbilang besar.
Ruandha menerangkan pembeli karbon nantinya bisa dilakukan antar pemerintah, antar pelaku usaha, atau secara mandiri. Namun, saat ini sudah ada beberapa negara yang berminat untuk membeli karbon Indonesia, antara lain Norwegia, Denmark, Jerman, dan beberapa negara Eropa lainnya.
"Yang jelas akan besar adalah CORSIA [carbon offsetting and reduction scheme for international aviation/skema pengimbangan dan pengurangan karbon untuk penerbangan internasional]. Dia [perusahaan penerbangan] harus membeli karbon dari luar kalau pasar Amerika sudah enggak ada lagi. Larinya kan ke Indonesia yang masih banyak hutannya," tuturnya.
Selain pasar internasional, karbon pun bisa dibeli oleh pasar domestik. Misalnya, PT PLN (Persero). Ketika perusahaan tersebut tak bisa menekan emisi, kompensasinya dia harus membeli karbon dari hutan.