Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonomi India Dulu Melaju Tercepat, Kini Tersendat Stagflasi

Ekonomi India yang dulu bergerak pada laju paling cepat di dunia sekarang dihadapi dengan stagflasi, ketika inflasi dan kontraksi terjadi secara bersamaan.
Profil Mahatma Gandhi terpampang dalam uang lembaran rupee India./Reuters-Thomas White
Profil Mahatma Gandhi terpampang dalam uang lembaran rupee India./Reuters-Thomas White

Bisnis.com, JAKARTA - Dua tahun lalu, Perdana Menteri India Narendra Modi dengan mantap berjanji untuk mengawal ekspansi ekonomi pada kisaran 8% yang menguatkan optimisme bahwa negara itu akan menjadi salah satu penggerak ekonomi global utama.

Sayangnya, sejumlah perubahan drastis yang terjadi pada iklim ekonomi dan politik India membuat pemerintahah Modi kini harus menetapkan target yang lebih realistis.

Ekonomi India yang dulu bergerak pada laju paling cepat di dunia sekarang dihadapi dengan stagflasi, ketika inflasi dan kontraksi terjadi secara bersamaan.

Tidak hanya itu, konflik sosial yang terjadi terkait undang-undang kewarganegaraan yang baru menjadi tantangan lain bagi pemerintah India.

Dilansir melalui Bloomberg, India memiliki ruang yang sangat terbatas untuk mendorong pertumbuhan.

Berkurangnya pendapatan pemerintah dan anggaran yang menipis membatasi ruang lingkup dukungan fiskal.

Guncangan inflasi sebesar 7,35% pada Desember dan ancaman kenaikan harga minyak dapat diartikan bahwa akan sulit bagi bank sentral untuk memangkas suku bunga lebih lanjut.

Lonjakan inflasi bulan lalu jauh di atas target bank sentral pada kisaran 2%-6% yang didorong oleh kenaikan harga makanan.

"Dengan peningkatan harga yang juga terjadi secara global, sulit untuk memprediksi kapan situasi di India akan mereda," ujar kolumnis opini Bloomberg, Andy Mukherjee, dikutip Selasa (14/1/2020).

Pada saat yang sama, salah satu masalah ekonomi utama yang dihadapi India saat ini adalah rendahnya minat konsumsi yang diikuti dengan serangkaian kebijakan salah langkah.

Antara lain kebijakan yang belum pernah diambil sebelumnya yaitu melarang peredaran uang kertas bernilai tinggi pada akhir 2016 hingga impelentasi pajak barang dan jasa terpadu yang kacau pada tahun berikutnya.

Rangkaian kebijakan salah langkah itu kemudian diikuti dengan krisis kredit yang berdampak pada shadow lenders, atau kreditur non-bank, yang merupakan penyedia pinjaman kecil utama bagi ratusan juta konsumen dan bisnis di India.

Di India, konsumsi masyarakat mewakili 60% dari produk domestik bruto, tetapi pengeluaran konsumen dilaporkan terus merosot bersamaan dengan suasana yang lesu di sektor industri.

Sejumlah bisnis melepaskan sebagian pekerjanya dan menunda rencana investasi untuk tetap bertahan di tengah pengetatan ekonomi.

Volatilitas harga minyak belum lama ini juga diperkirakan akan menahan sentimen konsumen tetap lemah dan menjadi hambatan lebih lanjut terhadap dorongan pengeluaran.

Pertumbuhan ekonomi India pada tahun fiskal yang berakhir 31 Maret 2020 diperkirakan akan melambat pada kisaran 5%, yang merupakan laju terendah dalam lebih dari satu dekade terakhir.

"Pemulihan kemungkinan akan berlangsung bertahap dan skenario stagflasi kemungkinan akan menjadi kenyataan," kata Teresa John, seorang ekonom di Nirmal Bang Equities Pvt di Mumbai.

Lima pemotongan suku bunga acuan sepanjang tahun lalu hingga miliaran dolar likuiditas yang disalurkan ke pasar keuangan nampanya tidak banyak membantu peningkatan pinjaman.

Ekonom Bloomberg untuk India, Abhishek Gupta, mengatakan bahwa pelacak PDB-nya menunjukkan pertumbuhan mengalami perubahan arah yang drastis pada November setelah menguat pada Oktober, yang disesuaikan pada efek dasar tahun sebelumnya.

"Hal ini mencerminkan dampak dari peluncuran kebijakan yang terburu-buru. Menurut kami pemerintah India dan bank sentral perlu meningkatkan stimulus," katanya.

Pemerintahan Modi telah bergerak untuk menghidupkan kembali perekonomian negara dengan populasi terbanyak kedua di dunia itu, tetapi belum membuahkan hasil.

Menteri Keuangan India Nirmala Sitharaman diketahui telah memberikan potongan pajak korporasi senilai US$20 miliar, menggabungkan bank-bank pemerintah yang lemah dengan yang lebih kuat dan melonggarkan aturan investasi asing.

Pemerintah juga akan menjual aset negara dalam upaya privatisasi terbesar dalam lebih dari satu dekade terakhir.

Menurut Abhijit Banerjee, pemenang hadiah Nobel untuk ekonomi tahun lalu, India saat ini sudah sangat dekat dengan risiko resesi.

“Masalah kritis dalam perekonomian India adalah permintaan, [itu] harus dipicu agar kembali menguat," katanya, mendesak pihak berwenang untuk melupakan target inflasi dan defisit anggaran mereka dan fokus pada konsumsi.

Ada beberapa tanda awal bahwa ekonomi India mungkin akan keluar dari keterpurukan.

Indikator frekuensi tinggi terbaru, seperti indeks manajer pembelian untuk manufaktur dan jasa, menunjukkan aktivitas semakin meningkat. Produksi industri dan belanja modal juga meningkat pada akhir 2019.

Sejumlah ekonom rebound pertumbuhan ekonomi akan mencapai 6,2% pada tahun fiskal yang berakhir Maret 2021, tergantung pada seberapa cepat permintaan global dan pengeluaran domestik akan pulih.

Pekan lalu, Nouriel Roubini, seorang profesor Universitas New York dan ahli kiamat ekonomi terkenal, mengatakan bahwa dia belum melihat bukti perlambatan akan mereda dan membuka kemungkinan pertumbuhan yang signifikan dalam tahun finansial kali ini.

"Perhatian para pembuat kebijakan seharusnya dipusatkan pada ekonomi bukannya terganggu oleh hal-hal politik" tambahnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Nirmala Aninda
Editor : Achmad Aris

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper