Bisnis.com, JAKARTA - Jajak pendapat yang dilakukan Reuters menunjukkan bahwa China kemungkinan akan melaporkan data ekspor dan impor yang lebih kuat untuk Desember.
Kenaikan ini menandakan adanya pemulihan permintaan yang moderat menjelang penandatangangan kesepakatan dagang fase satu.
Menurut perkiraan median dari survei terhadap 31 ekonom, ekspor oleh ekonomi terbesar kedua di dunia itu kemungkinan naik 3,2% pada Desember dari tahun sebelumnya.
Meningkat dari penurunan 1,3% pada November dan menandai kenaikan untuk pertama kalinya sejak ekspansi 3,3% pada Juli.
Adapun, impor diperkirakan akan melonjak 9,6% secara tahunan pada Desember, laju terkuat sejak Oktober 2018.
Analis Goldman Sachs mengatakan perbaikan itu terutama disebabkan oleh basis yang rendah dan efek yang lebih terlihat secara signifikan dari pemuatan ekspor bulan lalu.
Baca Juga
"Tingginya inflasi harga komoditas juga membantu meningkatkan nilai impor," kata para analis, seperti dikutip melalui Reuters, Senin (13/1/2020).
Impor yang lebih kuat juga menunjukkan kenaikan permintaan domestik, seperti yang tertera pada survei resmi aktivitas pabrik China terbaru, tambah mereka.
Secara keseluruhan sentimen telah membaik pada Desemmber setelah China dan Amerika Serikat mencapai kesepakatan fase satu, yang diperkirakan akan memangkas tarif dan mendorong pembelian produk agrikultur, energi, dan barang-barang manufaktur AS oleh China, sambil mengatasi beberapa perselisihan mengenai kekayaan intelektual.
Wakil Perdana Menteri China Liu He akan mengunjungi Washington pada 13-15 Januari untuk menandatangani perjanjian sementara.
Namun, analis mengatakan risiko komplikasi lebih lanjut dan eskalasi ketegangan perdagangan tetap ada, meskipun sudah ada kesepakatan awal.
"Dibalik meningkatnya ketegangan dan ketidakpercayaan antara kedua negara dari berbagai dimensi, risiko hubungan memburuk lagi dan diberlakukannya tarif gertakan sangat besar," kata Louis Kuijs, Kepala Ekonomi kawasan Asia di Oxford Economics.
Sementara itu para ekonom di Nomura memperkirakan pertumbuhan ekspor China dapat terus menghadapi tantangan kuat di tengah tarif AS yang masih tinggi dan permintaan eksternal yang lambat.
Meskipun ada tekanan pada ekonomi, Beijing tetap enggan untuk menerapkan stimulus besar karena takut akan meningkatkan risiko keuangan karena tingginya tingkat utang.
China berencana untuk menetapkan target pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah sekitar 6% pada tahun 2020, bergantung pada peningkatan belanja infrastruktur negara untuk menangkal perlambatan yang lebih tajam, kata sumber-sumber dari pemerintahan.
Pertumbuhan telah melemah dari 6,8% pada 2017 menjadi 6% pada kuartal ketiga 2019, laju yang paling lambat sejak awal 1990-an.
Pada 1 Januari, Bank Sentral China (PBOC) mengumumkan pemotongan jumlah rasio cadangan wajib, kedelapan kalinya sejak awal 2018.
PBOC telah mengurangi rasio wajib cadangan bank (Reserve Requirement Ratios) guna melepas lebih banyak uang tunai untuk menopang perekonomian yang melambat.
“Tergantung pada pertumbuhan dalam beberapa bulan mendatang, RRR mungkin sedikit lebih rendah, suku bunga juga. Tetapi kami tidak mengharapkan pelonggaran moneter lebih lanjut yang signifikan," kata Louis.