Bisnis.com, JAKARTA – Meningkatnya defisit keseimbangan primer tidak menjadi masalah apabila melebarnya defisit diiringi dengan kebijakan fiskal yang tepat sasaran.
Ekonom Indef Enny Sri Hartati mengatakan kebijakan fiskal dengan defisit neraca primer selama ini masih belum memberikan stimulus terhadap perekonomian sehingga pertumbuhan ekonomi masih tetap tertahan di angka 5 persen.
Defisit keseimbangan primer sesungguhnya tidak terlalu bermasalah apabila belanja yang dikeluarkan akibat pelebaran defisit mampu memberikan stimulus kepada sektor riil.
Justru, fungsi anggaran sebagai stimulus fiskal justru tidak terpenuhi apabila pemerintah hanya sepenuhnya hendak menekan defisit keseimbangan primer.
“Sebenarnya bukan berapa besaran target, berapa besar defisit, tetapi berapa besaran yang optimal dalam rangka meningkatkan stimulus fiskal,” ujar Enny, Kamis (19/12/2019).
Apabila memang pemerintah hanya memikirkan defisit keseimbangan primer, maka sesungguhnya pemerintah cukup memangkas belanja dan hal tersebut akan cukup menekan defisit keseimbangan primer.
Fenomena ini sebenarnya sudah sering terjadi karena realisasi belanja sendiri tidak pernah mencapai 100 persen dari tahun ke tahun. “Kalau belanjanya 100 persen, defisit pasti melampaui batas yang ditoleransi,” ujar Enny.
Seperti diketahui, defisit keseimbangan primer per November 2019 mencapai Rp101,31 triliun atau lima kali lipat dari nominal yang dipatok APBN.
Hal ini didorong oleh kebijakan pemerintah yang hendak mendorong defisit anggaran ke angka 2,2 persen dari PDB dalam rangka mempertahankan belanja untuk memberi stimulus kepada perekonomian.
Adapun per November 2019 defisit anggaran sudah melebar ke angka Rp368,94 triliun 2,3 persen dari PDB.
Dalam KEM PPKF 2020, pemerintah memproyeksikan defisit neraca primer bakal mulai positif di rentang 0-0,23 persen dari PDB dan pada 2024 akan terus positif di rentang 0,29-0,48 persen dari PDB.
Dengan ini, defisit anggaran diproyeksikan tetap di angka defisit sebesar 1,75-1,52 persen dari PDB pada 2020 dan akan terus menyusut di rentang 1,44-1,27 persen dari PDB pada 2024.
Menurut Enny, proyeksi pemerintah sebagaimana yang terlampir pada KEM PPKF 2020 masih susah tercapai mengingat penerimaan pajak yang masih memiliki kecenderungan untuk tertekan pada 2020 akibat lambatnya pertumbuhan pada sektor manufaktur.
Hal ini terindikasi dari realisasi impor bahan baku dan barang modal per November 2019 yang masih terus mengalami kontraksi sebagaimana laporan Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru.
Padahal, sektor tersebut memberikan kontribusi besar pada penerimaan pajak. “Kalau sektor manufaktur tidak tumbuh maka penerimaannya akan terus tertekan seperti 2019,” ujar Enny.
Untuk diketahui, meski pemerintah menargetkan defisit keseimbangan primer di angka Rp 12,01 triliun dengan defisit anggaran di angka Rp 307,22 triliun atau 1,76 persen dari PDB pada 2020, pemerintah berkomitmen untuk melebarkan defisit apabila belanja perlu dipertahankan dalam rangka memberikan stimulus pada perekonomian.