September lalu, Ditjen Pajak merilis Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-24/PJ/2019 tentang implementasi compliance risk management (CRM).
Beleid tersebut terkait denga pendekatan otoritas pajak terhadap perilaku wajib pajak. Kehadiran beleid ini merupakan langkah tepat dan angin segar bagi situasi pajak di Indonesia. Implementasi CRM juga bakal menjadi salah satu program andalan Ditjen Pajak di 2020 dalam rangka mengoptimalkan kepatuhan pajak.
Lantas apa pengaruhnya bagi wajib pajak?
Di banyak negara, perubahan lanskap telah mengubah cara otoritas pajak dalam menciptakan kepatuhan pajak. Kehadiran teknologi informasi, perlakuan yang tepat, serta era transparansi memaksa otoritas pajak meninggalkan pola konvensional dan mencari pendekatan baru dalam manajemen kepatuhan pajak.
Terdapat pergeseran sudut pandang dalam pendekatan di atas. Analisis perilaku (behavioural analysis) wajib pajak semakin dikedepankan, yaitu melihat wajib pajak sebagai kumpulan individu yang heterogen (Kirchler, 2007). Tidak ada strategi meningkatkan kepatuhan pajak yang berlaku seragam.
Inilah filosofi dari CRM. CRM sendiri merupakan proses pengelolaan risiko kepatuhan wajib pajak secara sistematis. Melalui SE-24/2019, Ditjen Pajak akan membangun diferensiasi wajib pajak berdasarkan risiko kepatuhan dan menjadi dasar pengembangan risk engine yang terukur berdasarkan skor, bobot risiko, dan objektif berdasarkan data.
CRM akan menciptakan efisiensi proses kerja Ditjen Pajak sekaligus mendorong kepatuhan sukarela wajib pajak. Keberhasilannya akan ditopang oleh berbagai data dan informasi pihak ketiga, mulai dari pertukaran informasi antarotoritas hingga akses informasi keuangan.
MANAJEMEN RISIKO PAJAK
Implementasi CRM memberikan harapan baru bagi wajib pajak. Selain menciptakan kepastian, CRM menjamin beban pajak akan didistribusikan secara lebih
adil kepada seluruh wajib pajak. Dalam praktiknya, implementasi CRM akan memberikan berbagai pengaruh bagi wajib pajak.
Pertama, perlunya tax assurance. Tax assurance ini merupakan manajemen internal wajib pajak yang bertujuan memastikan kepatuhan serta mencegah terjadinya risiko pajak. Penerapannya mencakup berbagai elemen mulai dari manajemen risiko pajak hingga hubungan dengan otoritas pajak (Russo, 2015).
Tax assurance dapat dilakukan baik melalui pengorganisasian unit pajak secara internal, menunjuk pihak eksternal yang berkompeten, maupun kombinasi keduanya (Arummalinda, 2019).
Kedua, membangun tax control framework (TCF). TCF adalah bagian dari sistem internal kontrol perusahaan untuk menjamin keakuratan dan kelengkapan segala dokumentasi yang berkaitan dengan pajak (OECD, 2016).
TCF akan menggambarkan profil pajak suatu perusahaan sehingga memudahkan otoritas pajak dalam melakukan pemetaan dan pengawasan. Tidak mengherankan, beberapa negara telah mewajibkan adanya TCF. Misalnya, Australian Taxation Office yang sejak Juni 2018 mewajibkan penyerahan TCF
untuk menjadi salah satu dasar penilaian wajib pajak tertentu (Wahyuni, 2019).
Ketiga, transparansi dan teknologi informasi. Sebagai alat memetakan profil kepatuhan, CRM mempersyaratkan transparansi wajib pajak. Sebagai contoh,
kewajiban dokumentasi transfer pricing yang tidak hanya dipergunakan sebagai alat menguji kewajaran dan kelaziman harga semata, tetapi sebagai bentuk
transparansi atas model bisnis dan strategi usaha wajib pajak.
Contoh lain, ketentuan mengenai mandatory disclosure rules (MDR) sebagaimana disebutkan dalam Aksi 12 Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) terkait dengan transparansi atas skema perencanaan pajak. Dalam implementasinya, CRM menuntut tahapan digitalisasi yang semakin intens baik atas proses bisnis Ditjen Pajak maupun wajib pajak.
Pada akhirnya, CRM adalah game changer tentang strategi meningkatkan kepatuhan pajak di Indonesia. Selamat datang di era baru.