Hingga kini, reformasi pajak 1983 kerap dianggap sebagai salah satu reformasi pajak yang berhasil. Momentum itu berhasil meningkatkan tax ratio, mengurangi ketergantungan penerimaan sumber daya alam dan perdagangan internasional, mendistribusikan beban pajak secara adil, serta menambah wajib pajak.
Apa yang bisa dipelajari dari reformasi pajak tersebut? Reformasi pajak 1983 fokus mendesain ulang sistem pajak baik kebijakan, administrasi, maupun hukum pajak selama 1981-1985. Bentuk paripurna reformasi tercermin dari berbagai UU di bidang pajak. Setidaknya, terdapat lima catatan atas reformasi pajak 1983.
Pertama, memiliki berbagai tujuan (multi-purpose). Menurut Usman (2004), terdapat empat tujuan dari reformasi pajak 1983, yaitu (1) meningkatkan tax ratio atas pajak nonmigas terhadap PDB, (2) simplifikasi hukum pajak dan memperbaiki administrasi sistem pajak, (3) mengurangi distorsi ekonomi untuk memperbaiki proses akumulasi sumber daya, serta (4) memberikan rasa keadilan bagi wajib pajak terutama kelompok bawah.
Kedua, antisipatif. Di tengah oil boom (1981), pemerintah membentuk tim reformasi pajak untuk mengantisipasi menurunnya penerimaan akibat fluktuasi harga minyak bumi. Seandainya shifting terlambat dilakukan, ketergantungan penerimaan dari sumber daya alam justru dapat menciptakan risiko fiskal dan
membatasi program pembangunan.
Ketiga, mengubah persepsi mengenai pajak. Sebelum reformasi pajak 1983, pemungutan pajak belum sepenuhnya mencerminkan kepastian dan keadilan.
Keempat, menandai pembabakan sistem pajak yang modern dan sesuai dengan perkembangan zaman. Sebelum reformasi, mayoritas revisi hukum pajak bersifat tambal sulam dari ketentuan periode kolonial. Singkatnya, perubahan struktural sistem pajak belum pernah dilakukan sejak
Indonesia merdeka.
Kelima, keberhasilan reformasi pajak ditentukan oleh kepemimpinan nasional yang kuat di tengah sistem otokrasi. Reformasi pajak 1983 tak terpisahkan dari agenda pembangunan nasional dan didukung seluruh elemen politik.
UPAYA REPLIKASI
Strategi reformasi pajak 1983 belum tentu relevan dengan reformasi pajak 2017-2020, terutama dengan perubahan konteks dan lanskap yang dinamis. Upaya mereplikasi keberhasilan reformasi pajak 1983 harus disesuaikan dengan situasi terkini seperti dijelaskan pada lima area berikut.
Pertama, sama halnya dengan reformasi pajak 1983, reformasi pajak 2017-2020 harus bersifat multi-purpose dalam kerangka yang harmonis.Tujuan yang beragam itu relevan dengan gagasan Bird (2013) dan Tanzi (2018) mengenai model terkini sistem pajak yang harus didesain dengan mempertimbangkan
kepentingan nasional, tantangan ekonomi, interaksi antarpemangku kepentingan, dan perubahan lanskap.
Kedua, antisipatif. Pemerintah harus mengantisipasi tidak hanya soal ketergantungan terhadap sumber daya alam, tetapi juga model bisnis yang berubah, sengketa pajak yang meningkat, perubahan aturan main pajak internasional, pergeseran paradigma dalam memajaki korporasi, ketimpangan kekayaan, dan
sebagainya.
Ketiga, agar pajak tidak dipandang sebagai kewajiban semata, reformasi pajak dapat menjadi momentum untuk menjamin perlindungan hak-hak wajib pajak yang berfungsi sebagai landasan bagi administrasi pajak yang efektif (Baker dan Pistone, 2015). Dalam konteks ini, paradigma hubungan yang bersifat kolaboratif antara otoritas dengan wajib pajak harus dikedepankan.
Selain itu, upaya mengurangi beban pajak perlu menitikberat kan atas beban yang berasal dari ketidak pastian. Artinya, mengurangi beban pajak tidak hanya ditranslasikan dalam penurunan tarif dan pemberian insentif pajak.
Keempat, reformasi pajak 2017-2020 harus membarui dan tidak hanya merevisi UU di bidang pajak. Revisi UU produk reformasi pajak 1983 secara berulang kali telah memberikan dampak seperti struktur UU pajak yang membingungkan hingga adanya pasal yang tidak lagi relevan.
Terakhir, sistem demokrasi mengharuskan proses legislatif yang partisipatif dan transparan untuk meningkatkan kepercayaan publik. Di sisi lain, proses tersebut berpotensi menciptakan sistem pajak yang semakin kompleks karena bermaksud mengakomodasi berbagai kepentingan. Karena itu, kepemimpinan nasional yang kuat serta konsolidasi politik menjadi dua prasyarat keberhasilan reformasi pajak 2017-2020.