Bisnis.com, JAKARTA — Impor daging babi yang dilakukan China sepanjang Januari-Oktober 2019 tercatat mencapai 1,5 juta ton, naik 49,4% dibandingkan realisasi pemasukan pada tahun 2018 seiring menipisnya stok daging babi dalam negeri akibat wabah African Swine Fever (ASF) atau demam babi Afrika.
Dalam laporan bea cukai terbaru yang diumumkan pada Sabtu (23/11/2019), volume pemasukan daging babi pada Oktober mencapai 177.426 ton, meningkat dibanding volume importasi pada September yang berjumlah 161.836 ton.
"Angka ini hanya untuk pemasukan daging dalam bentuk potongan otot dan tidak termasuk jeroan atau bagian non-otot lainnya," demikian laporan data sebagaimana dikutip Reuters.
Wabah demam babi Afrika yang mematikan setidaknya telah berimbas pada berkurangnya 41% populasi babi di seantero China. Kondisi ini pun membuat peternak enggan untuk kembali melanjutkan usaha pengembangbiakan.
Berkurangnya populasi babi berdampak pada harga yang pada akhir Oktober yang melonjak sampai 148% menjadi hampir 59 yuan atau sekitar US$8,38 dan menjadi pemicu inflasi.
Pemerintah China pun akhirnya memilih opsi pembukaan pasar seluas mungkin untuk negara-negara pemasok demi mengurai krisis pasokan daging babi.
Negara tersebut telah menyepakati kontrak pengiriman dari sejumlah negara seperti Brasil, Argentina, dan Inggris dalam beberapa bulan terakhir. Pekan ini, kargo pertama asal Italia pun dilaporkan telah tiba di China yang disusul dengan pengiriman daging babi beku perdana dari Argentina.
Pasokan daging babi yang terbatas pun berimbas pada meningkatnya permintaan daging sapi. Meski harga daging sapi cenderung lebih mahal, laporan otoritas setempat menunjukkan adanya kenaikan sebesar 63,2% pada Oktober dengan volume 150.829 ton.
Selama Januari-Oktober, impor daging sapi tercatat telah mencapai 1,28 juta ton, melonjak 54,5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Permintaan daging sapi yang meningkat didorong pula dengan bertambahnya jumlah penduduk kelas menengah ke atas di Negara Tirai Bambu.