Bisnis.com, JAKARTA - Industri makanan dan pertanian Asia diperkirakan membutuhkan investasi tambahan sebesar US$800 miliar selama 1 dekade ke depan untuk mencapai titik di mana mereka dapat memenuhi kebutuhan pangan sendiri.
Menurut laporan yang dirilis oleh PwC, Rabobank dan Temasek Holdings Pte, perusahaan investasi negara Singapura, pertumbuhan populasi, perubahan kebutuhan konsumen dan perubahan iklim adalah beberapa tantangan pangan di kawasan ini.
Mengutip PBB dan Perkembangan Ekonomi Global yang disusun Brookings, Asia mengalami urbanisasi dengan cepat, dan pada tahun 2030 akan menjadi rumah bagi lebih dari 250 juta jiwa, setara dua kali populasi Indonesia.
Peningkatan jumlah populasi itu diikuti dengan kebutuhan pangan yang semakin besar terhadap makanan sehat yang berasal dari sumber yang berkelanjutan dan etis.
"Dari seluruh investasi, sekitar US$550 miliar, akan mendanai kebutuhan inti pemenuhan pangan, sedangkan US$250 miliar lainnya adalah untuk menyediakan jumlah makanan yang meningkat untuk populasi yang terus bertambah," tulis laporan tersebut, dikutip melalui Bloomberg, Kamis (21/11/2019).
Tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri, Asia masih bergantung pada impor yang mengalir melalui rantai pasokan panjang dari Amerika, Eropa dan Afrika.
Mengutip Organisasi Pangan & Pertanian, impor bersih makanan telah meningkat tiga kali lipat sejak pergantian abad, dan sekarang mencapai sekitar 220 juta ton per tahun.
Kebutuhan pangan tersebut diperkirakan akan mendorong pengeluaran lebih dari dua kali lipat untuk kebutuhan pangan selama 1 dekade berikutnya.
Pengeluaran untuk makanan di kawasan ini diperkiakan akan meningkat menjadi lebih dari US$8 triliun pada 2030 dari US$4 triliun tahun ini.
Ketika populasi meningkat, masalah keamanan pangan, pasokan, menipisnya sumber daya alam, dan ketersediaan tanah dan air yang subur menjadi semakin penting.
“Diperlukan perubahan mendasar di seluruh rantai pasokan pangan di Asia untuk memungkinkan dan mempertahankan ketahanan pangan di kawasan ini,” kata Anuj Maheshwari, direktur pelaksana agribisnis di Temasek.
Dia menambahkan bahwa ada peluang besar bagi perusahaan rintisan atau start-up, pebisnis, dan pemerintah untuk bekerja sama dalam menciptakan solusi inovatif.
Singapura, Tokyo, Beijing, dan Mumbai adalah beberapa kota di Asia yang berpotensi menjadi pusat teknologi pertanian pangan, menurut laporan itu.
Di samping inisiatif lainnya, Singapura sedang berencana untuk mendirikan lembaga penelitian baru pada paruh pertama 2020,
Koh Poh Koon, menteri senior di Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura mengatakan lembaga penelitian ini akan melakukan riset pada beberapa topik penting seperti angan, gizi, kesehatan masyarakat, bioteknologi dan keamanan pangan.
Di sisi lain, laporan ini juga menggarisbawahi tantangan lain bagi ketahanan pangan di kawasan Asia.
Tren saat ini menunjukkan pertumbuhan populasi dan urbanisasi telah menyebabkan pemborosan yang tinggi dan kualitas yang buruk karena adanya disrupsi pada rantai pasokan.
Asia diperkirakan mengalami dampak yang paling parah dari perubahan iklim dan degradasi lingkungan, mempengaruhi ketersediaan lahan subur, panen pertanian, memperburuk tantangan produksi.