Bisnis.com, JAKARTA - Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek menargetkan implementasi kebijakaan electronic road pricing atau sering disebut jalan berbayar di sejumlah ruas jalan nasional Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) bisa dimulai 2020.
Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Bambang Prihartono menyatakan implementasi kebijakan electronic road pricing (ERP) yang menjadi kewenangan lembaganya masih bergantung pada pembahasan berbagai skema pendukung yang sampai saat ini masih berjalan.
"Skema-skema pendukung yang dibahas di antaranya meliputi skema hukum, skema kelembagaan, skema pembiayaan maupun skema teknik," katanya dalam siaran pers, Rabu (20/11/2019).
Bambang menegaskan pembahasan menyangkut skema pendukung sudah dimulai beberapa bulan lalu di antaranya melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan semua stakeholder terkait termasuk dengan pemerintah daerah. Pembahasan kemudian berlanjut lebih spesifik baik dengan instansi lain maupun internal dengan tenaga ahli.
Sesuai lingkup kewenangan, menurutnya, ERP yang dapat diimplementasikan oleh BPTJ ada pada area perbatasan antarwilayah yang merupakan jalan nasional. Hal itu, berbeda dengan DKI Jakarta yang memiliki kewenangan implementasi di jalan-jalan di dalam wilayahnya.
Selain telah menjadi amanat dari Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ), implementasi kebijakan ERP dirasakan sudah mendesak mengingat pertumbuhan pergerakan di Jabodetabek yang luar biasa.
Baca Juga
Pada 2015, dia mencatat pergerakan manusia di Jabodetabek masih sekitar 47,5 juta pergerakan per hari. Data pada 2018 menyebutkan pergerakan sudah meningkat menjadi 88 juta pergerakan per hari. Dari 88 juta pergerakan per hari, paparnya, hanya sekitar 8 persen yang menggunakan angkutan umum untuk tujuan aktivitas ke tempat kerja dan rutinitas lainnya.
Sementara itu, dia menyatakan kebijakan ganjil genap nomor kendaraan yang diterapkan untuk mengendalikan kemacetan tidak mungkin efektif selamannya.
Bambang Prihartono menjelaskan bahwa pembahasan menyangkut skema hukum belum menemukan solusi sesuai untuk penerapan ERP di jalan nasional.
Bila mengacu pada PP No. 32/2011 tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak serta Manajemen Kebutuhan Lalu-Lintas, paparnya, implementasi ERP memang tidak dimungkinkan di jalan nasional.
Justru, menurutnya, masalah ini perlu dipecahkan karena pada kenyataannya kondisi yang berkembang di Jabodetabek menuntut adanya implementasi ERP di jalan nasional. “Kami terus berupaya untuk memecahkan masalah menyangkut skema hukum ini dan secara paralel kami juga membahas skema-skema lain seperti skema pembiayaan, skema teknis ataupun skema kelembagaan, sehingga jika nanti skema hukum terpecahkan, sudah tersusun formula kebijakan yang siap diimplementasikan,” kata Bambang.