Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah akan kembali mengkaji skema pengupahan dengan meniadakan upah minimum kabupaten/kota (UMK), upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK), dan menjadikan upah minimum provinsi (UMP) sebagai satu-satunya acuan besaran nilai gaji.
Meskipun baru wacana, rencana Kemenaker untuk mengkaji skema pengupahan sudah menimbulkan pro kontra antara pengusaha dan pekerja.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan pihaknya mendukung adanya wacana tersebut dan rencana itu sangat positif. Menurutnya, kebijakan itu bisa mengembalikan fungsi upah mininum sebagai jaring pengaman dan mengembalikan mekanisme penetapan upah yang dibayarkan (take-home pay) dalam negosiasi antara perusahaan dan pekerja sesuai dengan tingkat kompetensi, produktivitas dan kemampuan bayar perusahaan.
“Pelaku usaha sebetulnya keberatan dengan mekanisme UMK dan UMSK karena persentase kenaikannya jauh lebih tinggi daripada UMP berdasarkan Peraturan Pemerintah No.78/2015 tentang Pengupahan tanpa ada korelasi yang jelas terhadap peningkatan produktivitas pekerja di kota/kabupaten atau di sektor usaha tersebut,” kata Shinta kepada Bisnis.com, Kamis (14/11/2019).
Menurutnya, besaran UMSK tidak dapat dipukul rata di semua daerah lantaran kemampuan masing-masing pelaku usahanya bebeda-beda. Setiap sektor usaha pu punya pelaku usaha dengan skala bisnis yang berbeda-beda.
“Akan selalu ada perusahaan skala kecil, menengah & besar di tiap sektor dan tentu saja kemampuan bayar mereka tidak sama. Kalau pelaku usaha skala UMKM di sektor dipaksa untuk membayar upah sektoral yang besarannya diambil dari rata-rata usaha skala besar tentu tidak adil dan sama saja dengan mematikan UMKM di sektor itu.”
Untuk UMK, Shinta merasa pemda kabupaten/kota tidak perlu membuat UMK karena UMP sudah cukup menjadi acuan. Di satu sisi, UMP juga sudah diperhitungkan berdasarkan perhitungan KHL rata-rata di provinsi sehingga seharusnya UMP cukup mewakili perhitungan jaring pengaman sosial yang dibutuhkan kabupaten/kota di provinsi tersebut.
Menurutnya, apabila kebijakan ini ditetapkan, dampaknya akan meningkatkan kondusivitas iklim usaha Indonesia untuk menarik lebih banyak investasi dan untuk meningkatkan daya saing produk ekspor nasional karena peningkatan beban tenaga kerja menjadi lebih terprediksi.
Namun, imbuhnya, hal ini tidak berarti bahwa masalah daya saing iklim usaha nasional dari sisi regulasi ketenagakerjaan sudah selesai.
Sebab, masih ada beberapa masalah krusial terkait dengan proporsionalitas beban biaya tenaga kerja dengan produktivitas seperti aturan jam kerja di Indonesia yang kurang bersaing dibandingkan dengan negara Asean lain, prosedur perekrutan dan pemberhentian kerja yang terlalu menyulitkan perusahaan dan berbiaya tinggi, kekakuan regulasi tenaga kerja untuk menciptakan mobilitas tenaga kerja yang maksimal dan menciptakan produktivitas yang lebih tinggi pascaadopsi teknologi baru.
“Ini isu-isu ketenagakerjaan yang harus diatasi juga agar iklim ketenagakerjaan kita betul-betul mendukung pertumbuhan produktifitas ekonomi nasional dan cukup bersaing untuk ekspor dan menarik investasi lebih banyak ke Indonesia."
Wakil Ketua Umum Kamar Dangan dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perindustrian Johnny Darmawan mengaku sepakat dengan adanya wacana tersebut. Sebab, skema pengupahan di Indonesia memang sangat mahal jika dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara.
“Menurut saya, wacana [penghapusan UMK dan UMS] setuju tetapi metodenya apa harus dibicarakan, dan juga harus mengacu secara produktivitas,” kata Johnny.
Sementara itu, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan upah minimum merupakan instrumen operasional dari amanat UUD 1945 yang menyatakan rakyat indonesia berhak atas penghidupan yang layak. Upah minimum yang merupakan hak normatif juga diatur dalam Undang-Undang No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Upah minimum itu instrumen negara untuk memastikan pekerja memiliki penghidupan yang layak, instrumen jaring pengaman agar pekerja memiliki daya beli. Karenanya, bila ada usulan untuk menghapus upah minimum itu artinya melanggar UUD 1945,” kata Timboel kepada Bisnis.com, Kamis (14/11/2019).
Dalam hal ini, dia mengatakan jika wacana itu dilakukan itu artinya negara lepas tangan terhadap perlindungan dasar bagi pekerja.
“Ini wujud lepas tangannya negara atas perlindungan dasar bagi pekerja yang akan berdampak pada lemahnya daya beli buruh yang berdampak pada konsumsi agregat sebagai salah satu poin pertumbuhan ekonomi.”
Menurutnya, yang perlu dilakukan pemerintah bukanlah menghapus UMK dan UMSK, melainkan mengubah pola pikir bahwa upah minimum adalah tanggung jawab pengusaha.
Timboel mengatakan, upah minimum yang merupakan perintah konstitusi harus dipertanggungjawabkan juga oleh pemerintah melalui instrumen subsidi dari APBN dan APBD kepada pekerja dan pengusaha.
Dia menilai selama ini pengusaha dihadapkan langsung kepada pekerja untuk terus bertikai soal upah minimum, sementara pemerintah tidak mau intervensi dari APBN /APBD dan malah mempersulit pengusaha dengan biaya-biaya tinggi dan ilegal. Sebab itu, Pemerintah seharusnya berusaha untuk mencari format upah minimum yang berkeadilan dengan keikutsertaan APBN/APBD bukan malah menghilangkan.
“Kan kalau UMP dipakai yang paling rendah di sebuah kota/kabupaten sementara ada kota/kebupaten yang sudah tinggi biayanya. Misalkan Jawa Barat kan mengacu pada yang paling rendah seperti Ciamis. Kalau UMP dengan standar Ciamis dipakai di Bogor ya kasihan pekerja di Bogor yang biaya hidupnya lebih besar.”
Pengamat Ketenagakerjaan dari Univeritas Airlangga Hadi Subhan mengatakan, wacana penghapusan skema UMK dan UMSK tidak tepat. Pasalnya, kondisi setiap kota dan kabupaten di setiap provinsi sangat berbeda-beda.
“Misalnya di Jawa Timur antara Surabaya dengan Pacitan tentu sangat jauh beda. Kalau ukurannya Jakarta memang hanya perlu UMP, karena kondisi antara Jakarta Pusat, Barat, Selatan, Timur dan Utara itu kan tidak berbeda. Kalau provinsi lain, nanti akan terjadi pemiskinan struktural di daerah urban. Karena UMP nya jauh lebih kecil,” jelas Hadi.
Sebab itu, dia mengusulkan agar UMK dan UMS tetap ada. Di samping itu, pemerintah perlu memberikan stimulus atau insentif seperti subsidi listrik industri, penyederhanaan tarif pajak.
Guru Besar Universitas Krisnadwipayana sekaligus pakar ketenagakerjaan dan hubungan industrial Payaman Simanjuntak mengatakan wacana penghapusan UMK dan UMS dapat menimbulkan masalah, terutama untuk provinsi yang kemampuan kabupaten/kotanya sangat berbeda seperti provinsi Jawa Barat.
“Kemampuan kabupaten Bekasi sangat jauh di atas Kabupaten Sukabumi. Di provinsi Sumatera Utara misalnya, kemampuan Kabupaten Deli Serdang jauh di atas kemampuan Kabupaten di Nias.Upah minimum sektoral sangat tergantung pada negosiasi asosiasi pengusaha dan serikat pekerja di sektor yang bersangkutan. UMK dan Upah Sektor diatur secara eksplisit dalam UU Ketenagakerjaan. Jadi kalau mau tidak diberlakukan, perlu undang-undangnya diubah dahulu.”