Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah, penambang nikel dan pengusaha smelter sepakat mematok harga nikel maksimal US$30 per metriks ton hingga akhir Desember 2019.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan harga patokan mineral (HPM) nikel yang senilai US$30 per ton ini berlaku bagi penambang nikel yang akan menjual nikel ore kepada smelter dengan kadar 1,65 persen hingga 1,7 persen karena tak mau melakukan ekspor hingga akhir tahun ini.
"Jadi harga US$30 per ton ini hanya berlaku hingga 31 Desember. Ini darurat, masalah harga nikel dalam negeri nanti 1 Januari 2020 seterusnya akan dibahas lagi," ujarnya dalam Konferensi Pers di BKPM, Selasa (12/11/2019) malam.
Menurutnya, patokan harga nikel itu tidak terpengaruh dengan harga nikel dunia yang tengah naik atau turun. Patokan harga nikel untuk smelter ini sesuai dengan harga internasional China dikurangi transhipment dan pajak, sesuai dengan skema penjualan free on board (FOB).
Kesepakatan harga antara pengusaha smelter dengan penambang nikel itu dilakukan karena dari 37 perusahaan nikel yang memiliki smelter di Indonesia, hanya sembilan perusahaan yang sudah lolos evaluasi dan akan kembali mengekspor nikel ore hingga akhir tahun. Adapun, dua perusahaan masih dalam proses verifikasi lanjutan oleh Kementerian ESDM.
"Untuk 26 perusahaan lainnya akan menjual nikelnya ke perusahaan smelter, ini kenapa? Karena 26 perusahaan ini belum ada konfirmasi apakah akan kembali ekspor atau tidak. Jadi dianggap menjual di dalam negeri. Dari pemeriksaan yang dilakukan, ada perusahaan yang mau kembali ekspor, ada perusahaan yang tak mau ekspor lagi," katanya.
Bahlil menjamin akan ada 2 juta ton nikel ore yang diterima oleh smelter nikel Tanah Air. Kendati demikian, pelarangan ekspor nikel berkadar rendah ini tetap berlaku pada 1 Januari 2020 mendatang. "Kesepakatan antara pengusaha nikel, smelter dan pemerintah ini berupa komitmen bersama, tak ada SK (surat keputusan)," ucap Bahlil.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey menuturkan saat ini dari nota dinas Kementerian Keuangan, baru ada sembilan perusahaan yang diperbolehkan untuk ekspor, sedangkan sisanya masih dalam proses evaluasi.
"Saat ini smelter mau menerima dengan kesepakatan kondisi ekspor dengan kadar 1,65 persen hingga 1,7 persen dengan harga minimal US$27 per ton hingga maksimal US$30 per ton. Ngapain kami ekspor, lebih baik dikirim ke lokal kalau harganya sama," terangnya.
Hingga akhir tahun, terdapat sisa kuota ekspor nikel sebanyak 7 juta wet ton hingga 8 juta wet ton dari total rekomendasi ekspor yang tahun ini yang sekitar 26,06 juta wet ton.