Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah perlu menyiapkan kebijakan, infrastruktur, dan peraturan yang tepat untuk mewujudkan perdagangan karbon pada 2020.
Associate Researcher Yayasan Madani Berkelanjutan Iwan Wibisono menilai sejatinya pemerintah memiliki potensi untuk merealisasikan hal ini dalam waktu dekat. Pasalnya, sudah ada beberapa kerja sama yang berkaitan dengan upaya penurunan emisi.
Salah satunya, kerja sama antara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dengan Japan International Cooperation Agency (JICA), terkait dengan mekanisme pembiayaan untuk Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK), insentif fiskal untuk pengembangan kota hijau, pengembangan asuransi pertanian, dan pengembangan instrumen ekonomi lingkungan hidup, khususnya pada instrumen Payment Environmental Service (PES).
“Tetapi kembali tergantung pada pemerintah mau melakukannya atau tidak, menyiapkan peraturan dan infrastruktur, termasuk kebijakan,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (5/11/2019).
Sumber pendanaan untuk perdagangan karbon pun jadi hal yang penting dipikirkan.
Asisten Deputi Pelestarian Lingkungan Hidup Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Dida Gardera menjelaskan realisasi perdagangan emisi memang diwajibkan pada 2024 atau 7 tahun pascaterbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 46/2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup.
Kendati demikian, pemerintah sepakat bahwa pada 2020 regulasi mengenai perdagangan karbon harus sudah rampung.
"Ketika Paris Agreement operasional Januari 2021, skema [dan] regulasi carbon trading sudah siap. Lagi kita godok [skemanya], harapannya tahun depan bisa uji coba, 2021 mudah-mudahan bisa operasional," ujarnya.