Bisnis.com, JAKARTA - Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk. Franciscus Welirang angkat bicara terkait dengan polemik sertifikasi halal yang sejak 16 Oktober 2019 diwajibkan bagi produk-produk yang dipasarkan di Tanah Air, tak terkecuali produk-produk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) makanan dan minuman (mamin).
Pria yang akrab disapa Franky itu mengatakan pihaknya mendukung kewajiban sertifikasi halal yang merupakan amanat dari Undang-Undang (UU) No. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Akan tetapi, sertifikasi tersebut menurutnya jangan sampai memberatkan pelaku UMKM mamin yang punya keterbatasan kemampuan.
“UMKM itu tentunya punya keterbatasan kemampuan, mereka diminta untuk [mengikuti] sertifikasi [halal] dan jangan sampai mereka itu malah menjadi bahan eksploitasi atau dipungut [lewat sertifikasi tersebut]. Dari pemerintah itu seharusnya ada kebijakan khusus [terkait sertifikasi halal] bagi UMKM, Batasannya bagaimana untuk usaha mikro, usaha rumahan, atau usaha musiman sertifikasi halal ini,” katanya, Senin (4/11/2019).
Untuk itu, Franky berharap agar nantinya pemerintah bisa memberikan keringanan untuk sertifikasi halal bagi UMKM mamin. Adapun keringanan yang dimaksud bisa berupa subsidi sebagian hingga menggratiskan seluruhnya biaya sertifikasi tersebut.
“Bisa lewat program subsidi dengan persyaratan-persyaratan tertentu, misalnya saja pemerintah daerah mengalokasikan anggaran untuk memberikan bantuan gratis sertifikasi halal kepada sekian ribu pelaku UMKM. Kalau seperti kami yang industri besar ini [sertifikasi halal] tidak jadi masalah, tetapi lain halnya dengan pelaku UMKM seperti warung dan gerobak dorong itu,” paparnya.
Lebih lanjut, Franky mengatakan pihaknya secara tidak langsung bertanggung jawab terhadap UMKM mamin yang wajib melakukan sertifikasi halal lantaran 65% dari konsumen produk tepung terigu yang diproduksi oleh Indofood melalui Divisi Bogasari merupakan pelaku usaha UMKM mamin.
Adapun, saat ini Bogasari yang memproduksi tepung terigu diketahui telah melakukan proyek percobaan berupa program bantuan pengurusan sertifikasi halal melalui Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) kepada 20 UMKM produsen mie ayam mitra binaan.
“Kami berkepentingan, karena produk [tepung terigu] kami adalah produk halal dan konsumen kami tentunya harus mendapatkan produk yang juga halal. Itu penting bagi kami. Ini baru sebagian kecil kalau dari Bogasari,” tegasnya.
Franky menambahkan sebagai bagian corporate social responsibility (CSR), tidak menutup kemungkinan pihaknya akan melakukan program serupa kepada UMKM mamin lainnya yang selama ini menjadi mitra binaannya bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) selaku pihak yang berwenang melakukan sertifikasi halal. UMKM mamin yang dimaksud merupakan konsumen sekaligus mitra binaan Bogasari yang tergabung dalam Bogasari Mitra Card (BMC).
“Program seperti ini tidak menutup kemungkinan akan dilakukan lagi untuk UMKM-UMKM [mamin] lainnya yang selama ini menjadi mitra binaan kami. Kami juga siap bekerjasama dengan BPJPH untuk melakukan program tersebut,” pungkasnya.
Menanggapi hal tersebut, BPJPH Soekoso mengatakan pihaknya siap untuk bekerjasama dengan berbagai pihak tak terkecuali Bogasari untuk melakukan pembinaan sekaligus sertifikasi kepada pelaku UMKM yang menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) mencapai 62,9 juta.
Namun, dia belum bisa menjelaskan lebih lanjut bagaimana mekanisme kerjasama yang memungkinkan untuk dilakukan lantaran masih banyak hal yang perlu diselesaikan oleh lembaga yang dipimpinnya.
Soekoso menyebut pihaknya hingga kini masih menunggu diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur mengenai besaran biaya sertifikasi halal melalui lembaga yang dipimpinnya.
Selain itu, BPJH hingga kini juga masih menunggu surat keputusan (SK) dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) agar bisa membuka perwakilan di daerah.
Saat ini diketahui pemerintah baru menerbitkan Peraturan Menteri Agama (Permenag) No. 26/2019 yang hanya mengatur tahapan JPH. Dalam aturan turunan undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut disebutkan wajib sertifikasi halal dimulai dari registrasi untuk pelaku usaha mamin.
Pendaftaran untuk pelaku mamin dimulai pada 17 Okrober 2019 hingga 17 Oktober 2024. Sementara itu, untuk pelaku selain mamin pendaftaran dapat dilakukan mulai 17 Oktober 2021 hingga 17 Oktober 2024.
Pada kesempatan yang sama, Soekoso juga menyebut masih banyak hal yang perlu diperbaiki terkait dengan pengajuan sertifikasi halal yang melibatkan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama (Kemenag) yang tersebar di seluruh Indonesia hingga situs resmi BPJPH www.sihalal.go.id yang masih belum bisa diakses untuk mengajukan atau mencari informasi sertifikasi halal.
“Perlu yang namanya kesabaran, Kanwil itu dalam struktur organisasi dengan BPJH itu kita meminta bantuan kepada mereka. Untuk memaknai itu, tentunya teman-teman di Kanwil tidak begitu paham 100% terhadap hal-hal yang terkait dengan halal ini. Oleh karena itu, kita terus memperbaiki dan mengkomunikasikan hal yang terkait dengan Kemenag kita kan mengenal PTSP yang tersebar di seluruh Indonesia. Dalam rangka mengoptimalkan pekerjaan dari Kemenag kami numpang disitu dulu sambil membangun sistem,” katanya.
Lebih lanjut, terkait dengan kesiapan auditor dan lembaga pemeriksa halal (LPH) selain LPPOM MUI, menurut Soekoso saat ini pihaknya telah memiliki 226 auditor halal dan ditargetkan hingga 2024 mendatang jumlah tersebut bertambah sampai dengan 5.000 auditor. Adapun untuk LPH, dia menyebut BPJH telah menjalin kerjasama dengan 71 instansi yang sebagian besar diantaranya adalah perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi Islam, khususnya yang memiliki sistem manajemen mutu demgan ISO 17025.
“Paling prospektif ini PTN, kemudian ada perguruan tinggi yang dimiliki oleh yayasan Islam, ada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PT Sucofindo (Persero) dan PT Surveyor Indonesia (Persero). Sekarang antri untuk tanda tangan nota kesepahaman di meja saya perguruan tinggi-perguruan tinggi dari Sabang sampai Merauke, jadi jangan khawatir nantinya jika LPH itu tidak memadai,” ujarnya.
Soekoso menambahkan kewajiban sertifikasi halal menjadi hal yang sangat krusial. Pasalnya sekitar 60% produk halal dunia tersirkulasi di Asia Tenggara dan sekitar 13% dari populasi muslim dunia berada di Tanah Air.
“Ini sangat penting karena terkait dengan daya saing kita di era perdagangan bebas. Negara harus hadir dalam hal ini, contoh sebelumnya kita tidak diakui oleh The Standard and Metrology Institute for the Islamic Countries (SMIIC)-nya Organisasi Kerjasama Islam (OKI) jika kewenangan sertifikasi halal bukan menjadi tanggung jawab negara. Tetapi sekarang diakui,” ungkapnya.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Nufransa Wira Sakti mengatakan pihaknya masih belum bisa memastikan kapan PMK yang akan mengatur besaran biaya sertifikasi halal melalui BPJPH bisa diterbitkan lantaran masih dalam tahap pembahasan kembali oleh pihak-pihak terkait.
“Masih belum tahu karena masih perlu pembahasan lebih mendalam dengan institusi lainnya [yang terkait] untuk besaran biaya sertifikasi halal melalui BPJPH ini,” katanya kepada Bisnis.
Adapun sebelumnya Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara Kemenkeu Andin Hadiyanto mengatakan beleid tersebut masih dalam proses finalisasi dan menunggu kesepakatan dari Kemenag, termasuk mengenai rencana pemberian subsidi bagi pelaku UMKM yang melakukan sertifikasi halal ke BPJPH.
Kemudian Kepala Sekretariat LPPOM MUI DKI Jakarta Siti Fauziyyah mengatakan hingga kini pihaknya selaku LPH yang bekerjasama dengan BPJPH masih menunggu diterbitkannya PMK yang mengatur besaran biaya sertifikasi tersebut. Dia menyebut hingga saat ini masih banyak pelaku usaha yang bertanya kepada LPPOM MUI terkait dengan kejelasan biaya sertifikasi yang menjadi tanggung jawab BPJPH itu.
Adapun saat ini menurut Siti LPPOM MUI hanya menyelesaikan pengajuan yang masuk sebelum 16 Oktober.
“Masih banyak yang bertanya kepada kami, pendaftaran sertifikasi secara manual atau online sudah kami tutup sejak 16 Oktober 2019 dan siapapun yang ingin mendaftar kami arahkan ke BPJPH. Tetapi mereka kembali bertanya lagi mengenai besaran biaya yang harus dibayar. Oleh karena itu, kami menunggu juga diterbitkannya PMK itu,” katanya ketika ditemui oleh Bisnis.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik dan Hubungan Antar Lembaga Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPPMI) Rachmat Hidayat menilai pemerintah belum sepenuhnya siap untuk menjalankan aturan wajib sertifikasi halal, khususnya bagi pelaku usaha mamin.
Pasalnya, prosedur pengajuan sertifikasi halal melalui BPJPH belum tersosialisasikan dengan baik kepada seluruh pelaku usaha mamin di Tanah Air. Selain itu, belum ada kejelasan mengenai prosedur, besaran biaya sertifikasi yang harus dibayarkan, hingga berapa lama waktu juga masih membingungkan pelaku usaha mamin.
“Ada anggota kita yang ingin mengajukan sertifikasi halal ke BPJPH masih bingung, masih bertanya-tanya bagaimana prosedurnya. Kami menunggu PMK [yang mengatur] besaran biaya sertifikasi halal diterbitkan agar ada kejelasan, khususnya bagi Usaha, Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mamin. Apakah sama atau ada perbedaan [besaran biaya],” katanya kepada Bisnis.