Bisnis.com, JAKARTA – Para pelaku usaha makanan dan minuman (mamin) mengeluhkan prosedur pengajuan sertifikasi halal yang sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) No. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).
Padahal, aturan wajib sertifikasi halal bagi produk-produk yang dipasarkan di Tanah Air sudah berlaku sejak 16 Oktober 2019.
Berdasarkan UU tersebut, sertifikasi halal yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag). Sebelumnya, hal tersebut dilakukan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).
Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik dan Hubungan Antar Lembaga Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPPMI) Rachmat Hidayat menilai pemerintah belum sepenuhnya siap untuk menjalankan aturan wajib sertifikasi halal.
Pasalnya, prosedur pengajuan sertifikasi halal melalui BPJPH belum tersosialisasikan dengan baik kepada seluruh pelaku usaha di Tanah Air.
“Ada anggota kita yang ingin mengajukan sertifikasi halal ke BPJPH masih bingung, masih bertanya-tanya bagaimana prosedurnya. Kita hanya tahu kalau sertifikasi halal itu diajukan secara manual ke BPJPH di Jakarta, kalau yang ada di daerah ini kita belum tahu bagaimana prosedurnya,” katanya kepada Bisnis.com, Minggu (27/10/2019).
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang ada di masing-masing Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag sampai saat ini juga masih banyak yang belum bisa memberikan informasi yang konkrit mengenai pengajuan sertifikasi halal. Demikian juga dengan situs resmi BPJPH www.sihalal.go.id yang masih belum bisa diakses.
“Belum ada kepastian waktu yang dibutuhkan mulai dari pengajuan hingga sertifikat halal selesai dan diterima oleh pelaku usaha mamin, kami masih menunggu Peraturan Menteri Agama (Permenag) tentang itu. Padahal kami diberikan waktu hanya 5 tahun untuk registrasi,” ungkapnya.
Saat ini pemerintah baru menerbitkan Permenag No. 26/2019 yang hanya mengatur tahapan JPH. Dalam aturan turunan undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut disebutkan wajib sertifikasi halal dimulai dari registrasi untuk pelaku usaha mamin.
Pendaftaran untuk pelaku mamin dimulai pada 17 Okrober 2019 hingga 17 Oktober 2024. Sementara itu, untuk pelaku selain mamin pendaftaran dapat dilakukan mulai 17 Oktober 2021 hingga 17 Oktober 2024.
Selain itu, menurut Rachmat, pelaku usaha mamin juga mengeluhkan ketidakjelasan besaran biaya yang harus dikeluarkan oleh pelaku usaha untuk memperoleh sertifikasi halal. Untuk itu, dia mendesak agar Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur tentang hal tersebut bisa segera diterbitkan.
“Kami menunggu PMK [yang mengatur] besaran biaya sertifikasi halal diterbitkan agar ada kejelasan, khususnya bagi Usaha, Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mamin. Apakah sama atau ada perbedaan [besaran biaya]?” ujarnya.
Ketika dihubungi oleh Bisnis.com, Kepala BPJPH Soekoso enggan memberikan komentar terkait dengan keluhan tersebut. “Maaf ya belum bisa [memberikan komentar],” seraya menutup sambungan telepon.
Adapun beberapa waktu lalu melalui siaran resminya Soekoso menjelaskan tahapan layanan sertifikasi halal mencakup beberapa hal, yaitu pendaftaran, pemeriksaan kelengkapan dokumen, pemeriksaan dan/atau pengujian, penetapan kehalalan produk melalui sidang fatwa halal, serta penerbitan sertifikat halal.
Kemudian, untuk pendaftaran permohonan sertifikat diajukan dapat dilakukan secara manual dengan mendatangi kantor BPJPH, Kanwil Kemenag Provinsi dan Kantor Kemenag di setiap Kabupaten/Kota
Sementara itu, Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara Kemenkeu Andin Hadiyanto mengatakan PMK yang akan mengatur besaran biaya sertifikasi halal melalui BPJPH masih dalam proses finalisasi.
Dia belum bisa memastikan kapan beleid tersebut akan diterbitkan lantaran masih menunggu kesepakatan Kemenag, termasuk mengenai rencana pemberian subsidi bagi pelaku UMKM yang melakukan sertifikasi halal.
“Namun mengingat cakupan peraturannya sangat luas dan akan berdampak pada masyarakat ekonomi syariah, maka perlu kiranya kabinet baru, khususnya Menag dapat menyepakati usulan yang dimaksud. Kami masih terus berkomunikasi dengan pihak Kemenag [terkait hal ini],” katanya kepada Bisnis.com, Jumat (25/10/2019)
Penerimaan yang diperoleh BPJPH sebagai Badan Layanan Umum (BLU) dari sertifikasi halal termasuk dalam Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Dengan demikian, penerimaan tersebut bisa langsung digunakan untuk kebutuhan operasional tanpa perlu melalui mekanisme penganggaran layaknya satuan kerja yang harus disetor terlebih dahulu ke kas negara.
Namun, penerimaan tersebut harus dilaporkan kepada negara melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) paling lambat 3 bulan apabila melebihi rencana anggaran.