Bisnis.com, JAKARTA — Alokasi serapan kebutuhan unsur nabati atau fatty acid methyl ester (FAME) untuk produksi biodiesel 30% (B30) pada 2020 telah ditetapkan sebanyak 9,59 juta kiloliter (KL).
Besaran alokasi serapan FAME tersebut diatur dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 199K/20/MEM/2019 tentang Penetapan Badan Usaha Bahan Bakar Minyak dan Badan Usaha Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel serta Alokasi Besaran Volume untuk Pencampuran Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Solar Periode Januari-Desember 2020.
Direktur Bioenergi Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Andrian Feby Misna mengatakan besaran alokasi FAME tersebut mengalami peningkatan setiap tahunnya karena mandatori yang semakin diperbesar. Dengan besaran tersebut, campuran solar yang dibutuhkan sekitar 30 juta KL.
Adapun produksi FAME pada 2014, yakni sebanyak 3,32 juta KL, 2015 1,62 juta KL, 2016 3,65 juta KL, 2017 3,41 juta KL, 2018 6,01 juta KL. Sementara itu, serapan FAME dalam negeri pada 2018 sebanyak 4,02 juta KL dengan penghematan devisa US$2,01 miliar atau Rp28,42 triliun.
Menurutnya, dengan target 23% bauran energi pada 2025, penggunaan FAME diharapkan berada pada kisaran 13,8 juta KL.
Penggunaan biodiesel sebenarnya telah dilakukan sejak 2006 dan diperkuat dengan adanya mandatori pada 2008. Porsi mandatori terus meningkat hingga lahir peraturan menteri baru pada 2015 yang mewajibkan mandatori B20 pada 2016.
Feby menilai majunya pengembangan biodiesel di Indonesia karena melimpahnya bahan baku yakni perkebunan kelapa sawit. Pada 2018 saja produksi crude palm oil (CPO) mencapai 47,6 juta ton. Selain itu, upaya untuk menekan defisit neraca perdagangan juga menjadi faktor majunya pengembangan biodiesel di Indonesia.
Sementara itu, untuk meningkatkan pasokan CPO sebagai bahan baku biodiesel, pemerintah mendorong produksi di wilayah Indonesia bagian timur lantaran Indonesia bagian barat yang sudah mulai jenuh.
"Pembangunan industri-industri FAME ke depan didorong ke daerah timur untuk memudahkan dan mengefisiensikan distribusinya," katanya kepada Bisnis, Jumat (18/10/2019).
Menurutnya, biodiesel dibutuhkan di seluruh wilayah Indonesia, hanya saja di bagian timur produksinya masih terbatas sehingga pasokan masih didatangkan dari wilayah barat. Hal tersebut menjadikan ongkos angkut semakin mahal dan berpotensi tidak efisien hingga menurunkan kualitas biodiesel menjadi B0 atau solar biasa.
"Ongkos angkut mahal, waktu produkk tiba lama juga tidak efisien dan bisa terjadi B0," katanya.
Adapun, badan usaha yang mendapatkan alokasi penyaluran bahan nabati untuk pencampuran biodiesel pada 2020 sebagai berikut:
PT Pertamina (Persero) | 8.382.300 KL |
PT AKR Corporindo Tbk. | 498.683 KL |
PT Exxonmobil Lubricants Indonesia | 139.631 KL |
PT Jasatama Petroindo | 63.000 KL |
PT Petro Andalan Nusantara | 201.825 KL |
PT Shell Indonesia | 30.220 KL |
PT Cosmic Indonesia | 11.694 KL |
PT Cosmic Petroleum Nusantara | 29.715 KL |
PT Energi Coal Prima | 91.976 KL |
PT Gasemas | 60.318 KL |
PT Jagad Energy | 5.040 KL |
PT Petro Energi Samudera | 4.500 KL |
PT Baria Bulk Terminal | 12.600 KL |
PT Mitra Andalan Batam | 4.085 KL |
PT Yavindo Sumber Persada | 7.200 KL |
PT Sinaralam Dutaperdana II | 30.000 KL |
PT Syuria Bahtera Harapan Mandiri | 890 KL |
PT Kalimantan Sumber Energi | 16.454 KL |