Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia menyatakan sinkronisasi kebijakan lintas kementerian/lembaga masih menjadi kendala bagi industri makanan dan minuman, kendati mampu bertumbuh di kisaran 7% - 9%.
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gappmi) Adhi S. Lukman mengatakan rerata pertumbuhan memang sudah baik. Namun, pihaknya memperkirakan pertumbuhan industri makanan dan minuman (mamin) seharusnya bisa mencapai kisaran 10% - 11%.
Dia mengatakan melesetnya proyeksi pertumbuhan itu terjadi lantaran tidak sinkronnya sejumlah regulasi terkait industri dan perdagangan.
"Mamin tentunya dalam lima tahun ini cukup baik sebab berada di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi. Tetapi, perkiraan saya di atas 10-11%. Saya melihat banyak kendala, termasuk sinkronisasi regulasi," ujarnya kepada Bisnis, Kamis (17/10/2019).
Adhi menjelaskan sektor mamin sejauh ini masih cukup bergantung dengan bahan baku impor di tengah keterbatasan pasokan dalam negeri. Importase tersebut memang harus diatur dengan mempertimbangkan petani dan keseimbangan ekonomi dalam negeri.
Namun, menurutnya, tidak ada kejelasan mengenai proses dan waktu untuk importase tersebut. Kondisi itu dinilai menyebabkan pasokan tersendat dan biaya produksi yang lebih besar. Pada akhirnya, kendala itu berujung pada daya saing produk mamin nasional.
"Misalnya impor gula, izin harus dari rekomendasi, izin kuota dan sebagainya, tetapi kadang-kadang pemerintah mengeluarkan izinnya terlambat. Kalau begitu, ini menjadi masalah sebab kami tidak bisa memperkirakan harga bahan baku global dan daya saing turun," ujarnya.
Adhi mengatakan sinkronisasi regulasi itu menjadi pekerjaan rumah utama pemerintah ke depan untuk mendukung revitalisasi sektor manufaktur.