Bisnis.com, JAKARTA — PT Timah Tbk. menunggu revisi Peraturan Menteri ESDM nomor 25 tahun 2018 yang mengatur mengenai batasan minimum ekspor logam tanah jarang sebelum melakukan konstruksi pabrik monasit.
PT Timah berencana memulai pembangunan pabrik pengolahan monasit pada 2020 sebagai konstruksi pabrik logam tanah jarang tahap pertama. Hingga saat ini, produk yang masih rencananya akan dihasilkan adalah rare earth (RE) carbonate.
Direktur Pengembangan Usaha PT Timah Trenggono Sutioso mengatakan hingga saat ini industri dalam negeri belum siap untuk mengolah senyawa logam tanah jarang tersebut sehingga ekspor masih menjadi pilihan. Apabila nantinya pemerintah telah merevisi batasan minimum ekspor logam tanah jarang, maka PT Timah kemungkinan besar akan segera melakukan konstruksi.
Sebagai tahap awal, PT Timah sedang membangun pilot plant di Tanjung Ular Muntok, Bangka Barat, untuk menghasilkan RE hidroksida sebelum masuk ke RE oksida. Nantinya, tidak menutup kemungkinan pengembangan senyawa tersebut akan sampai ke individual oksida berupa serium, lantanum, neodimium, dan praseodemium.
Menurutnya, sejalan dengan pengembangan kendaraan listrik di Indonesia, logam tanah jarang akan sangat dibutuhkan sebagai salah satu bahan baku baterai kendaraan listrik.
"Tantangannya bagaimana bisa scale up ke skala industri, dan bisa kembangkan sampai ke individual oksida, kita butuh bantuan teknologi untuk menghasilkan produk tersebut," katanya, Rabu (16/10/2019).
Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Anhar Riza Antariksawan mengatakan pihaknya siap menyediakan teknologi untuk mengolah senyawa logam tanah jarang sampai ke individual oksida. Batan pun mengaku telah melakukan kerja sama dengan PT Timah untuk penerapan teknologi tersebut.
Hanya saja, keputusan mengenai sampai mana pengolahan pemurnian tersebut dilakukan berada di tangan PT Timah sebab investasi dilakukan oleh perseroan tersebut.
"Tidak berhenti di RE, tetapi individual. PT Timah bisa memilih mana yang akan diminati pasar," katanya.