Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia Mirah Sumirat meminta agar revisi Undang-Undang No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan turut mengatur sektor pekerjaan informal.
Menurutnya, sistem kerja informal seperti halnya yang diterapkan di perusahaan transportasi berbasis aplikasi, tak jauh beda dengan perbudakan modern dimana tidak ada jam kerja, pesangon maupun jaminan kesehatan.
Mengacu pada data BPS, dari 100% lapangan kerja di Indonesia per Februari 2019, sebanyak 57,27% disumbang oleh sektor informal. Dalam beberapa waktu terakhir, kontribusi sektor informal terhadap total pasar tenaga kerja Indonesia pun terus meningkat mendekati level 60%.
“Kami mengusulkan sekarang ini kan ada sistem pekerjaan baru seperti driver Gojek, Grab dan lainnnya. Itu kan sistemnya mitra. Nah, bagaimana dengan hubungan kerjanya? Mereka kan juga perlu dapat perlindungan dari pemerintah. Kemudian seperti apa mekanismennya? Karena selama ini mereka bingung kalau ada masalah mau mengadu kemana sedangkan di undang-undang tersebut kan gak ada,” kata Mirah kepada Bisnis.com.
Dia memprediksi dengan adanya sistem kerja mitra yang dibentuk oleh perusahaan seperti Gojek dan Grab, kedepan akan banyak perusahaan-perusahaan rintisan yang akan menggunakan sistem serupa.
“Pengusaha startup kan mereka gak mau sistem kontrak atau tetap, maunya mitra. Nah itu yang harus dibahas [dalam revisi], karena kedepan akan banyak yang seperti itu.”
Wakil ketua umum KADIN bidang ketenagakerjaan, Anton J Supit mengatakan sebetulnya hal yang paling urgent dilakukan adalah bagaimana pekerja informal menjadi pekerja formal. Pasalnya, adanya pekerja informal disebabkan lantaran mereka tidak bisa masuk sebagai pekerja formal.
“Iklim investasi kita kan gak begitu baik sehingga tidak bisa menampung semua orang yang akan kerja. Nah kalau semua diatur undang-undang, sehingga orang yang membuka peluang bagi pekerja informal ini harus diatur, ini tentu akan menimbulkan masalah,” kata Anton.
Menurutnya, maksud baik untuk masukkan pekerja informal justru bisa menjadi boomerang bagi iklim ketenagakerjaa.
“Kalau informal diatur kan gak jauh beda dengan pekerja formal. Saya kira yang paling penting sekarang adalah memperbaiki iklim investasi sehingga investor masuk dan banyak orang memiliki pekerjaan formal.”
Menanggapi usulan Serikat Pekerja, Ketua Presidium GARDA, Igun Wicaksono mengatakan pengemudi ojek online bukanlah pekerja penerima upah ataupun informal. Igun menegaskan sistem kerja pengemudi ojol merupakan hubungan kemitraan dengan perusahaan aplikasi (aplikator).
“Sehingga menurut kami, usulan serikat pekerja tersebut tidak tepat. Para pengemudi ojol bermitra dengan aplikator sebagai pemilik aplikasi. Jadi, tepatnya kami diatur dengan UU UMKM mengenai kemitraan,” kata Igun.
Sementara itu, Pengamat Ketenagakerjaan dari Universita Airlangga, Hadi Subhan mengatakan, tenaga kerja informal selama ini memang kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Menurutnya, jika tenaga kerja informal diatur, maka perlu ada undang-undang khusus.
Sebab, karakteristik pekerja informal berbeda dengan pekerja formal sehingga tidak bisa diatur dalam undang-undang 13/2003.
“Benar perlu perlindungan, tapi tidak dimuat di UU Ketenagakerjaan, melainkan dibuat UU tersendiri, misalnya UU Pekerja sektor informal, gabung juga dg asisten rumahtangga, buruh tani, dan lainnnya, karena karakteristiknya berbeda dengan pekerja formal. Seperti driver gojek kan mereka tidak ada jam kerja,” jelas Hadi.