Bisnis.com, JAKARTA — Musim kering membuat Jakarta seolah terpanggang matahari. Cuaca menjadi amat terik. Deretan botol minuman dalam lemari pendingin menjadi sumber pelepas dahaga yang menggiurkan.
Saya menandaskan satu botol air mineral di warung milik Warni (54) saat bertandang ke Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara pekan lalu.
Warung Warni berjarak sepelemparan batu dari tanggul laut penangkal rob.
Dia berkisah bahwa tanggul memang telah menghalau rob dari permukiman. Namun, air bersih sukar dijangkau. Tak ada air leding dari perusahaan air minum yang mengalir ke Muara Baru.
"Beli air ya, di jeriken yang lewat bawa gerobak," tuturnya.
Untuk kebutuhan mandi dan cuci, saban hari warga Muara Baru perlu merogoh kocek rata-rata Rp30.000. Angka itu jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga rata-rata satu kubik meter air yang dijual PDAM sebesar Rp4.819. Tak ayal, air menjadi barang mahal bagi warga yang terjangkau jaringan air leding.
Baca Juga
Potret kelangkaan air bersih di Muara Baru cukup ironis. Muara Baru hanya berjarak 7 kilometer dari Istana Negara dan Balai Kota DKI Jakarta.
Boleh dibilang, pembangunan infrastruktur di sektor air minum kurang mencolok. Sektor air minum seakan jauh dari gegap gempita sebagaimana terjadi di sektor jalan tol. Padahal, air adalah sumber daya yang tak bisa digantikan oleh apa pun dan menjadi kebutuhan dasar manusia.
Dalam rencana strategis 2015—2019, Kementerian Pekerjaan Umum & Perumahan Rakyat mencanangkan program 100-0-100. Artinya, 100 persen akses air minum, 0 persen permukiman kumuh, 100 persen akses sanitas. Malang tak bisa ditolak, target akses air minum 100 persen dalam rencana tersebut luncas (tidak mengenai sasaran).
Hingga akhir 2019, akses air minum diyakini hanya mencapai level 78 persen. Dalam visium Kementerian PUPR, pemenuhan akses air minum 100 persen baru diproyeksi pada 2030 atau rata-rata ada progres 2,20 persen setiap tahun. Sasaran antara, pada 2024 atau 5 tahun ke depan akses air minum diperkirakan mencapai 88 persen.
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan bahwa dalam 5 tahun ke depan pihaknya bakal memprioritaskan pembangunan di sektor air minum. Hingga 2024, pemerintah menargetkan penambahan sambungan baru sebanyak 10 juta.
Di samping menambah sambungan baru, rehabilitasi jaringan perpipaan juga perlu dilakukan agar kualitas air yang diproduksi layak untuk langsung dikonsumsi.
Sesungguhnya, pemenuhan akses aman air minum menjadi tanggung jawab banyak pihak.
Sejalan dengan otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab besar untuk menyelenggarakan sistem penyediaan air minum. Pemerintah pusat dan badan usaha juga bisa memberi dukungan untuk mempercepat program penyediaan air minum di daerah.
Untuk mencapai akses air minum 100 persen, sedikitnya diperlukan Rp253,80 triliun dengan komposisi 26 persen dari anggaran negara, sebanyak 47 persen dari anggaran daerah, dan 27 persen dari badan usaha.
Dus, untuk menjamin akses air bagi masyarakat, seluruh pemangku kepentingan perlu bergotong royong. Akankah kehidupan bisa terus berlanjut tanpa ketersediaan air yang cukup?