Bisnis.com, JAKARTA — PT PLN (Persero) menyatakan potensi kehilangan pendapatan akibat pemasangan PLTS atap yang dilakukan oleh pelanggan mencapai kisaran 20%.
Meskipun demikian, General Manager PLN Unit Induk Distribusi Jakarta Raya M. Ikhsan Asaad mengatakan perseroan tetap mendukung pemasangan PLTS atap karena berkaitan dengan peningkatan bauran energi 23% pada 2025. Pengurangan pendapatan tersebut sebagai konsekuensi gaya hidup masyarakat yang mulai beralih ke energi baru terbarukan (EBT).
PLN pun saat ini sedang menyiapkan bisnis model untuk ikut terjun pada pemasangan PLTS atap. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan PLN terlibat mulai dari pemasangan hingga ekspor impor kelebihan daya PLTS atap.
Rencananya, skema bisnis tersebut dirilis tahun ini. "Itu kan lifestyle, mengurangi 20%-30% [pendapatan] itu kan wajar, tetapi PLN akan masuk ke sana untuk masuk dalam bagian ekosistem tersebut," katanya kepada Bisnis, Senin (23/9/2019).
Ikhsan menegaskan dengan sifat PLTS atap yang intermiten atau tidak stabil, investasi pembangkit berkapasitas besar seperti program 35.000 MW tetap harus dilakukan. Tujuannya untuk memastikan keandalan listrik yang dipasokan ke masyarakat.
Pasalnya, kerja optimal PLTS atap hanya berlaku pada pukul 11 siang hingga 2 sore. Selebihnya, kinerja PLTS atap bisa berkurang, termasuk ketika memasuki musim hujan.
Apalagi, tarif listrik yang murah hingga saat ini masih dijamin oleh pembangkit dengan energi batu bara. Penggunaan PLTS atap dinilai masih masuk kategori murah karena baru hanya bisa bekerja sekitar 3 hingga 5 jam saja.
"Kami mendukung 23% EBT pada 2025, tetapi kami juga melihat sifat intermiten ini, tidak mungkin bisa beroperasi 24 jam sehari. Tarif listrik bisa murah masih dari batu bara," katanya.