Bisnis.com, JAKARTA -- Pembatasan dan larangan penggunaan solar bersubsidi dinilai bakal berpengaruh negatif terhadap industri logistik nasional.
Ketua Umum DPP Indonesian Logistics Community (ILC) Teguh Siswanto menyatakan sesuai Pasal 33 UUD 1945, BBM subsidi jenis solar seyogyanya digunakan untuk kemakmuran rakyat. Dia melanjutkan pemerintah dapat fokus mengawal dan mengawasi distribusi, pengelolaan, dan penggunaannya agar tepat sasaran.
Pemberlakuan Surat Edaran (SE) penggunaan solar bersubsidi dari BPH Migas dengan Nomor 3865E/Ka BPB/2019 yang dirilis pada 29 Agustus 2019, justru dipandang tak mendukung pertumbuhan industri logistik.
"Karena kebijakan tersebut dapat berdampak langsung pada kenaikan tarif logistik dan berpengaruh pada kegiatan ekspor impor, juga pelemahan daya saing di pasar global, bahkan jika menjadi efek domino bisa berimbas pada harga kebutuhan pokok di pasar domestik. Ini bukan hal positif untuk kemakmuran rakyat," papar Teguh dalam keterangan resmi yang diterima Bisnis, Jumat (20/9/2019).
Dia mengatakan SE tersebut tak sejalan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 43 Tahun 2018 tentang Perubahan Perpres Nomor 191 Tahun 2014 yang mengatur penyediaan, pendistribusian, dan harga jual eceran BBM pada jenis BBM tertentu, termasuk yang diberikan subsidi dan BBM jenis solar.
ILC menuturkan lampiran dari beleid tersebut mencantumkan bahwa pengaturan penggunaan solar ditujukan kepada angkutan umum untuk barang dan tanda nomor kendaraan berwarna dasar kuning dan tulisan berwarna hitam, kecuali angkutan perkebunan dan pertambangan dengan jumlah roda lebih dari enam.
Baca Juga
Pemerintah pun diharapkan dapat mengkaji ulang hal-hal yang terkait overquota dan distribusi BBM yang tidak tepat sasaran.
"Pada dasarnya, kami sangat mendukung regulasi pemerintah selama produk regulasi tersebut memperkuat industri, khususnya logistik, serta dapat menjaga situasi pasar tetap kondusif. Aturan dapat ditegakkan tanpa tebang pilih demi keadilan dan kemakmuran rakyat," tambah Teguh.
Berdasarkan catatan Bisnis, Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa sempat menyebutkan ada 10 provinsi yang mengalami konsumsi di atas kuota yang ditetapkan. Di antara 10 provinsi tersebut, patut diduga ada penggunaan BBM bersubsidi untuk kendaraan perkebunan dan pertambangan.
Misalnya, Kalimantan Timur sebesar 124,6 persen rata-rata per bulannya, diikuti Kepulauan Riau sebesar 119,9 persen, Lampung 113 persen, Riau 111 persen, Sulawesi Tenggara 109,4 persen, Sulawesi Barat 109,2 persen, Sumatra Barat 108,8 persen, Sulawesi Selatan 108,8 persen, Jawa Timur 108,7 persen, dan Bangka Belitung 108,3 persen.