Bisnis.com, JAKARTA — Rencana kenaikan cukai rokok yang akan diterapkan pemerintah pada awal tahun depan dinilai tidak secara langsung meningkatkan sokongan dana untuk program Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan.
Pemerintah menyatakan bahwa akan menaikkan cukai rokok sebesar 23 persen dan harga jual eceran (HCE) rokok 35 persen per 1 Januari 2020. Kenaikan tersebut telah diputuskan pemerintah setelah tahun lalu cukai tidak dinaikkan.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Nurfransa Wira Sakti menjelaskan, kenaikan cukai rokok tersebut tidak akan secara langsung meningkatkan sokongan dana dari pemerintah bagi BPJS Kesehatan, meskipun sebagian cukai rokok dialokasikan untuk asuransi sosial tersebut.
“Kenaikan cukai rokok tidak meningkatkan alokasi pemerintah pusat untuk BPJS Kesehatan. Namun, melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau [DBH CHT], maka daerah mempunyai tambahan ruang fiskal untuk mendanai program JKN yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah,” ujar Nurfransa kepada Bisnis, Senin (16/9).
Dia menjelaskan, potensi penambahan ruang fiskal tersebut sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.222/PMK.07/2017 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi DBH CHT. Dalam beleid tersebut tertulis, minimal 50 persen alokasi DBH CHT yang diterima setiap daerah harus digunakan untuk kegiatan di bidang kesehatan dalam rangka mendukung program JKN.
Beberapa program yang memanfaatkan dana cukai tersebut di antaranya adalah pembinaan industri, pemberantasan barang kena cukai ilegal, dan pembinaan lingkungan sosial. Berdasarkan PMK 222/2017, pemanfaatan dana untuk program JKN termasuk ke dalam pembinaan lingkungan sosial.
Adapun, dalam beleid tersebut tertulis, kegiatan di bidang kesehatan untuk mendukung program JKN meliputi kegiatan pelayanan kesehatan, penyediaan/peningkatan/pemeliharaan fasilitas kesehatan, pelatihan tenaga kesehatan, serta pembayaran iuran jaminan kesehatan bagi penduduk yang didaftarkan oleh pemerintah daerah dan/atau pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pemanfaatan DBH CHT akan dievaluasi berdasarkan kesesuaiannya dengan program yang dijalankan pemerintah daerah. Selain itu, dalam pasal 15 PMK 222/2017 tertulis bahwa persentase penggunaan DBH CHT pada program pembinaan lingkungan sosial di bidang kesehatan untuk mendukung JKN menjadi salah satu poin evaluasi.
Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma'ruf menyampaikan, pihaknya belum memperhitungkan potensi penambahan dana dari pemerintah bagi BPJS Kesehatan pasca kenaikan cukai rokok. Hal tersebut menurutnya masih menjadi pembahasan antar lembaga.
“Kami masih komunikasikan dengan Kemenkeu,” ujar Iqbal kepada Bisnis, Selasa (17/9).
DITUNGGU-TUNGGGU
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menjelaskan, kenaikan cukai rokok dengan sendirinya akan meningkatkan alokasi dana untuk BPJS Kesehatan, seiring pemanfaatan DBH CHT.
Menurut dia, rokok secara legal memang tergolong sebagai produk yang harus dikendalikan dan dinilai memiliki dampak buruk. Namun, di satu sisi cukai dari rokok menjadi sesuatu yang 'dinanti-nanti' karena memberikan sumbangsih cukup besar, termasuk di antaranya untuk alokasi dana BPJS Kesehatan.
“Sekarang logika itu jadi terbalik ketika DBH CHT ini ditunggu-tunggu. Di satu sisi ditekan terus dengan berbagai macam argumen, tapi di sisi lain ini ditunggu-tunggu,” ujar Enny kepada Bisnis, Selasa (17/9).
Dia menilai, penetapan besaran cukai rokok perlu mempertimbangkan berbagai aspek mulai dari potensi peredaran rokok ilegal apabila cukai terlalu tinggi hingga besaran biaya kesehatan yang dapat ditimbulkan karena rokok.
Adapun, menurut Enny, Kementerian Kesehatan perlu melakukan sinergi yang lebih kuat dengan BPJS Kesehatan untuk mendorong upaya preventif dalam meningkatkan kesehatan masyarakat.
Berdasarkan data BPJS Kesehatan, penyakit katastropik dengan biaya layanan kesehatan tertinggi merupakan penyakit-penyakit yang berkaitan dengan rokok, yakni penyakit jantung, kanker, stroke, dan gagal ginjal. Per Maret 2019, penyakit jantung menyedot biaya hingga Rp2,81 triliun atau 49,81 persen dari total klaim penyakit katastropik senilai Rp25,51 triliun.
Biaya pelayanan kesehatan untuk kanker per maret 2019 mencapai Rp1 triliun atau 17,83 persen dari total klaim katastropik. Lalu, stroke menyedot biaya Rp699,22 miliar (12,36 persen) dan gagal ginjal Rp672,4 (11,88 persen). Total biaya pelayanan kesehatan untuk penyakit katastropik mencapai Rp5,65 triliun atau 22,18 persen dari total klaim BPJS Kesehatan senilai Rp25,51 triliun.