Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian ESDM mengaku masih memperhitungkan berbagai kemungkinan apabila pemerintah menerapkan harga khusus gas untuk pembangkit listrik dalam negeri.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana mengakui pengaturan harga khusus gas untuk pembangkitan mungkin saja dilakukan, tetapi harus memperhitungkan sejumlah faktor. Semasih harga gas dinilai masih berada di level aman, belum ada bahasan untuk melakukan pengaturan harga khusus dengan batas atas.
"Semua hal mungkin saja [harga khusus gas]. Kita kan menyikapi pada sesuatu yang gak bisa kontrol, yang bisa kita lakukan kan adjust," katanya, Selasa (10/9/2019) malam.
Menurutnya, selama belum diputuskan Undang-Undang RAPBN 2020, Kementerian ESDM belum bisa memutuskan pengaturan energi primer untuk pembangkitan. Pasalnya, apabila subsidi listrik untuk rumah tangga mampu (RTM) sebesar Rp6,96 triliun jadi dicabut, pemerintah perlu membuat skenario untuk memastikan harga jual listrik di masyarakat tetap murah.
"Ya banyak [pengaturan untuk pembangkitan termasuk harga gas], banyak skenario kalau sekira ini dicabut ini gak dicabut," katanya.
Pelaksana Tugas (Plt) PT PLN (Persero) Sripeni Inten Cahyani mengatakan bahan bakar menyumbang sekitar 60 persen hingga 70 persen pengeluaran biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkitan. Dia menilai peraturan kewajiban memasok ke dalam negeri (domestic market obligation/DMO) sekaligus harga khusus dinilai sangat dibutuhkan PLN untuk bisa menghasilkan listrik murah untuk masyarakat.
Menurutnya, seiring dengan tingginya harga minyak mentah Indonesia (Indonesia crude price/ICP), tarif pengangkutan gas bumi (toll fee) ikut melonjak. Alhasil, harga gas pun menjadi tinggi.