Bisnis.com, JAKARTA – Australia menorekhan surplus neraca berjalan pertama sejak 1975 pada semester kedua tahun ini, didukung oleh lonjakan harga bijih besi.
Dilansir dari Bloomberg, biro statistik Australia mencatat surplus neraca perdagangan mencapai A$5,9 miliar (US$4 miliar) pada kuartal kedua, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan defisit neraca sebesar A$1,1 miliar pada kuartal sebelumnya.
Angka ini juga lebih tinggi dari proyeksi para ekonom dalam survei Bloomberg yang memperkirakan surplus neraca perdagangan sebesar A$1,5 miliar.
Surplus ini sebagian besar ditopang oleh lonjakan harga bijih besi yang luar biasa dan tidak terduga, yang dipicu oleh gangguan pasokan yang sangat besar dan rekor produksi baja China.
Namun, meskipun kedua faktor tersebut menjadi penentu, dengan harga bijih besi turun paling dalam pada bulan Agustus, surplus neraca ini diperkirakan tidak akan bertahan lama.
Deputi Gubernur Reserve Bank Australia Guy Debelle pekan lalu mencatat adanya transformasi signifikan dari 33 tahun yang lalu ketika menteri keuangan Paul Keating memperingatkan bahwa rekor defisit neraca berjalan Australia mencapai hampir 6 persen dari produk domestik bruto.
Namun bagi RBA, yang diperkirakan akan mempertahankan suku bunga tunai pada rekor terendah 1 persen hari ini dan akan menguranginya menjadi 0,5 persen tahun depan, surplus neraca berjalan mungkin tidak seperti yang dibutuhkan pada tahun 2019.
Surplus ini menunjukkan bahwa mata uang mungkin sedikit lebih kuat daripada yang seharusnya dan investasi menjadi sedikit melemah.