Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) kembali menyerahkan sertifikat baru pada 64 pelaku usaha perkebunan sawit, termasuk petani swadaya di Jakarta pada Selasa (27/8/2019)
Ketua Sekretariat ISPO Azis Hidayat mengemukakan total kebun sawit yang dimiliki oleh 64 entitas mencakup area seluas 1,07 hektare (ha). Adapun produksi tandan buah segar (TBS) dari lahan tersertifikasi ini mencapai 4,44 juta ton dan produksi minyak sawit mentah (CPO) sebanyak 692.862 ton per tahun.
Dengan penyerahan tersebut, sampai Agustus 2019 tercatat telah terdapat 566 sertifikat yang telah diterbitkan. Azis memperinci sertifikat tersebut diberikan kepada 556 perusahaan, 6 koperasi swadaya, dan 4 koperasi unit desa plasma dengan total lahan mencapai 5,18 juta ha, melampaui target sertifikasi ISPO seluas 5 juta ha pada 2019.
“Dari total 5,18 juta tersertifikasi, total luas tanaman menghasilkan 2,96 ha dan produksi TBS 56,65 juta ton per tahun. Sementara produksi CPO di lahan tersebut mencapai 12,26 juta ton per tahun dengan produktivitas 19,07 ton/ha dan rendemen rata-rata 21,7 persen,” papar Azis di Jakarta.
Dari total 566 penerima sertifikat ISPO, Azis mengemukakan 508 sertifikat diterima oleh perusahaan swasta dengan luas area mencapai 4,89 juta ha atau 63 persen dari 7,78 juta ha lahan milik swasta yang terdaftar. Sementara untuk perkebunan milik perusahaan pelat merah PT Perkebunan Nusantara (PTPN), sertifikat yang telah terbit tercatat berjumlah 48 yang mencakup lahan seluas 282.762 Ha atau 40 persen dari luas total 713.000 ha.
Di sisi lain, capaian sertifikasi kebun rakyat cenderung rendah, Komisi ISPO sampai saat ini baru menyerahkan 10 sertifikat pada koperasi pekebun swadaya dan plasma di lahan seluas 6.236 ha, hanya 0,107 persen dari total 5,807 juta ha perkebunan sawit rakyat.
Meski mengatakan partisipasi pelaku usaha perkebunan sawit untuk menerapkan ISPO semakin baik, Azis tak memungkiri jika sertifikasi pada kebun milik rakyat masih menghadapi banyak kendala, terutama dari segi pendanaan proses audit dan juga perkara legalitas lahan.
“Masalah utama yang dihadapi petani itu aspek legalitas lahan. Sebagian besar mereka masih punya surat keterangan tanah, belum sertifikat hak milik. Ini seharusnya [diselesaikan] di pemerintah, ada tidak program lahan petani kebun sawit. Lalu ada surat STD-B [STD Surat Tanda Daftar Budidaya] dan SPPL [Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan] yang prosesnya di daerah. Pemerintah Daerah seharusnya komiten memberikan pelayanan kepada pekebun kita,” kata Azis.
Selain komitmen dari pemerintah daerah, Azis pun mengharapkan bantuan dana dari BPDP-KS, terutama dalam tahapan sebelum pengajuan sertifikasi yang mencakup asistensi dalam pembentukan kelembagaan, salah satu syarat utama untuk menerima ISPO.
“Saya sudah beberapa kali usulkan agar BPDP-KS memberikan fasilitasi biaya untuk pra kondisi. Prakondisi itu kan untuk pembentukan kelembagaan, koperasi kemudian pelatihan,” jelasnya.