Bisnis.com, JAKARTA -- Perusahaan pelayaran yang tergabung dalam Indonesian National Shipowners Association mengungkapkan tumpang-tindih kewenangan menjaga keamanan di laut telah merugikan operasi kapal maupun kualitas muatan.
Wakil Ketua Umum III DPP Indonesian National Shipowners Association (INSA) Darmansyah Tanamas memberi gambaran, tongkang batu bara dengan kapasitas angkut 300.000 ton dan nilai kargo Rp1 miliar-Rp1,5 miliar, mengeluarkan biaya operasional Rp20 juta per hari.
"Kalau dihentikan oleh aparat, waktu menjadi tidak dapat diprediksi, biaya operasional kapal membengkak. Belum lagi kualitas batu bara mudah turun kalau kena hujan," katanya kepada Bisnis.com, Senin (19/8/2019).
Menurutnya, DPP INSA menanti keseriusan pemerintah membentuk badan tunggal penjaga keamanan di laut atau sea and coast guard yang merupakan amanat UU Pelayaran. Wadah tunggal itu pula yang akan menjadi badan satu-satunya penegak hukum di laut.
Dalam catatan INSA, paparnya, setidaknya ada 18 instansi yang kerap menghentikan kapal di tengah laut. Dia memaparkan beberapa instansi itu Badan Keamanan Laut (Bakamla), Kepolisian Perairan (Polair), Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) Kementerian Perhubungan, Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan TNI Angkatan Laut.
Setiap instansi berwenang menangkap kapal di tengah laut atas dasar peraturan perundangan yang menaunginya.
Seharusnya, Darmansyah berpendapat seluruh instansi itu dapat melebur menjadi satu badan. Bisa pula salah satu badan dijadikan sea and coast guard dan yang lainnya melebur.
Nantinya, badan tunggal itu berwenang menghentikan kapal, menangkap, hingga memproses penegakan hukum.