Bisnis.com, JAKARTA -- Pengamat menilai target penerimaan pajak di tengah potensi shortfall dan perlambatan ekonomi global akan menyulitkan ekspansi dunia usaha khususnya sektor riil.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menyatakan, target penerimaan pajak masih akan mengalami defisit. Selain itu, defisit transaksi berjalan juga masih akan melebar diprediksi karena tidak tercapainya pajak dan pelemahan ekonomi nasional.
"Ketika memasang target penerimaan pajak 13,3% di tengah perlambatan ekonomi maka menurut saya ini belum pada arah yang benar," pungkasnya, Senin (19/8/2019).
Tauhid merincikan dengan upaya meningkatkan pajak, sedangkan industri melemah maka hal itu bisa memberi imbas pada matinya pelaku usaha.
"Ini yang membebani pemberi pajak [pemerintah]. Berapa penerimaan yang pas tentu saja ada banyak, kenaikan yang diperoleh juga bisa secara wajar," ungkap Tauhid.
Dengan target inflasi 3,1% yang relatif aman dan realistis, Tauhid menilai sebenarnya inflasi ini tidak membebani pelaku usaha.
Namun dengan kondisi global, pengusaha yang terus dikejar bisa memberi sentimen pula pada pelemahan investasi. Guna mengantisipasi itu pemerintah membuka banyak keran penerimaan pajak.
"Pajak masih ada hal-hal yang dikejar. Makanya siapa yang tadinya tidak kenal wajib pajak sekarang kena wajib pajak," tuturnya.
Dia mengambil contoh, rencana pemerintah menurunkan baseline penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang terdapat di dalam rancangan awal draf revisi Undang-Undang No.36/2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh).
Adapun pada dokumen awal rancangan draf itu menjelaskan bahwa kebijakan ambang batas PTKP diturunkan menjadi minimal Rp36 juta. Dengan demikian, wajib pajak yang memiliki penghasilan pajak minimal Rp3 juta wajib melaporkan surat pemberitahuan (SPT) dan dikenai pajak penghasilan (PPh).
Langkah itu, menurut Tauhid, adalah bentuk antisipasi shortfall sebagai dampak dari target pajak terlalu tinggi.
"Kalau pajak terlalu rendah pemerintah berhadapan dengan resiko defisit. Maka ini cara mereka membangun optimisme," pungkasnya.
Tauhid juga mencatat pentingnya kebijakan mengubah perspesi masyarakat terkait tax holiday dan tax amnesty.
Pasalnya, ketika pemberlakuan tax amnesty, penerimaan pajak menjadi sangat besar. Namun ketika tidak diberlakukan lagi penerimaan pajak kembali merosot. Kondisi ini memerlukan pembenahan karena mekanisme kepatuhan pajak masih rendah.
"Ini jangan sampai jadi moral hazard [penyimpangan moral]," pungkasnya.