Bisnis.com, JAKARTA -- Serbuan impor dari China dikhawatirkan bisa semakin memperbesar defisit neraca perdagangan dan memperlambat geliat industri manufaktur.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri menyatakan, defisit US$63,5 juta dengan akumulasi Januari-Juli mencapai US$1,9 miliar.
"Juli ini kenaikan impormya cukup tajam pada beberapa kelompok barang dibandingkan dengan Juni. Utamanya nonmigas seperti besi, baja, dan mesin mekanik," kata Heri saat dihubungi Bisnis.com, Kamis (15/8/2019).
Dia menyatakan, sumber paling besar impor dari asal negaranya adalah China. Pasalnya nilai impor dari China mencapai US$1,5 miliar atau naik 57,68% dari bulan sebelumnya. Menurut Heri, kondisi ini salah satu dampak dari eskalasi perang dagang.
"Di mana produk dari China dia jual ke Amerika Serikat dibatalkan, kemudian China mencari pasar baru. Dia harus menjual barang itu ke negara manapun dan salah satu sasarannya, Indonesia," ungkap Heri.
Dia menjelaskan, di tengah perlambatan ekonomi AS, volume ekspor AS turun, impor dari AS ke Indonesia juga melambat. Di sisi lain ekspor Indonesia ke China juga menurun, tetapi impor dari China justru naik.
"Artinya, ada ketidakkonsistenan volume perdagangan dunia melambat. Ini berdampak pada turunnya ekspor dan impor. Khususnya dengan negara mitra tidak dengan China di mana mereka bisa meningkatkan ekspor mereka," ungkap Heri.
Heri mengatakan peningkatan impor dari China ini menimbulkan implikasi bagi dunia usaha. Hal ini terlihat dari pertumbuhan industri yang melambat.
Dia menegaskan dengan meningkatnya impor China ini menimbulkan indikasi dari rilis BPS soal pertumbuhan ekonomi, di mana pada kuartal II/2019, manufaktur sebagai sektor nonmigas mengalami perlambatan. Bisnis.com mencatat, pada pertumbuhan ekonomi kuartal II/2019, industri besar dan sedang (IBS) turun 1,91% (q-t-q), tapi masih naik 0,59% (y-o-y).
"Kita saksikan perang dagang jangan diam saja, kita harus bisa menyiasati dengan upaya bagaimana membangun ketahanan industri yang kuat," paparnya.
Ke depan, dengan gejala lonjakan impor, Heri mengusulkan Indonesia harus selektif dalam kinerja impor. Untuk produk yang bisa dihasilkan dalam negeri jangan sampai harus impor.
Hal ini tercermin dari nilai impor barang bahan baku atau penolong pada Juli mencapai US$11,27 miliar. Nilai impor ini terbesar dalam postur impor Juli 2019 sebesar US$15,51%.
Untuk impor barang konsumsi pada Juli 2019 tercatat US$1,46 miliar, sedangkan untuk barang modal tercatat US$2,78 miliar.
Secara perubahan terhadap Juni 2019 (m-t-m), impor bahan baku atau penolong ini tercatat 29,01%, untuk impor barang konsumsi berubah US$42,15%, sedangkan perubahan untuk barang modal sangat besar yakni 60,73%.
Heri pun menilai kenaikan impor barang konsumsi dan barang modal berpeluang menambah beban defisit pada kuartal III/2019.
"Sebab ini akan berdampak pada neraca perdagangan, lalu pada defisit transaksi berjalan. Lalu defisit kita makin besar pada PDB, ini perlu diwaspadai. Kemungkinan di bulan berikutnya ini masih akan berlanjut," tuturnya.