Bisnis.com, JAKARTA -- Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyebut lonjakan sengketa dan kekalahan Ditjen Pajak di Pengadilan Pajak menunjukkan lemahnya proses mitigasi sengketa di Ditjen Pajak.
Padahal dengan kompleksitas perpajakan saat ini, seharusnya ada kebijakan baru yang bisa mengatasi persoalan tersebut.
Mitigasi sengketa, menurutnya, bisa dilakukan dengan memperkuat quality assurance dan mekanisme keberatan sehingga yang masuk ke Pengadilan Pajak adalah perkara atau sengketa yang tidak terkait administratif, tetapi murni sengketa yuridis.
"Harusnya memang diperkuat di Ditjen Pajak, perlu keberanian dan fairness," ujar Prastowo, Selasa (13/8/2019).
Bagi Prastowo, sengketa pajak juga sangat terkait dengan kepercayaan wajib pajak terkait konsistensi fiskus dalam menerjemahkan ketentuan terkait perpajakan. Terkait hal itu, pemerintah harus belajar dari negara lain, terutama dengan negara yang memiliki sistem administrasi perpajakan yang lebih baik.
"Kalau tidak salah di Jepang, ada semacam mekanisme “pemeriksaan ulang” bagi yang masih sengketa," imbuhnya.
Dalam catatan Bisnis.com, kabar mengenai kekalahan otoritas pajak di Pengadilan Pajak bukan cerita baru. Selama 2013 – 2018 jumlah sengketa baik terbanding maupun tergugat yang masuk ke Pengadilan Pajak sebanyak 63.066 berkas.
Dari jumlah tersebut, 59.352 perkara telah diselesaikan, dengan jumlah sengketa yang dikabulkan seluruhnya sebanyak 26.971 perkara dan dikabulkan sebagian 7.775.
Sejalan dengan itu, sampai dengan semester I/2019 pertumbuhan PPh Pasal 26 pada periode Januari–Juni 2019 sebesar -11,5% atau lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan 2018 yang mencapai 11,0%.
Anjloknya kinerja setoran PPh Pasal 26 ini disebabkan karena pada awal 2019 terdapat pengembalian PPh Pasal 26 yang cukup besar karena adanya putusan pengadilan yang memenangkan WajibPajak (kasus 2015).