Bisnis,com, JAKARTA -- Kementerian ESDM menarget pada tahun ini akan ada penambahan kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) sebesar 9 MW yang berasal dari pembangkitan di Surabaya untuk menambah porsi pembangkitan tersebut menjadi 11 MW hingga akhir tahun.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Sutijastoto mengakui pengembangan PLTSa memang cukup lambat karena dalam praktiknya perlu dukungan dari pemerintah daerah. Adanya Biaya Layanan Pengelolaan Sampah (BLPS) atau tipping fee memang cukup menyulitkan pemerintah daerah untuk mendorong realsasi PLTSa.
Hasilnya, hingga saat ini, kapasitas terpasang PLTSa hanya sebesar 2 MW yang lokasinya berada di Benowo, Surabaya. Penambahan kapasitas PLTSa pada tahun ini juga berasal dari pembangkitan eksiting yang sama lewat penambahan tahap kedua dengan kapasitas 9 MW.
PLTSa Surabaya Tahap 1 berkapasitas 2 MW tersebut sudah beroperasi komersial sejak 2015. Sementara itu, PLTSa Surabaya tahap II berkapasitas 9 MW akan beroperasi komersial pada semester II/2019. Artinya, hingga akhir tahun ini, total kapasitas PLTSa terpasang adalah 11 MW.
Total investasi proyek tersebut adalah senilai US$49,86 Juta.
"Surabaya lagi minta PJBL [Perjanjian Jual Beli Listrik] sama pengajuan BPLS," katanya kepada Bisnis, Rabu (7/8/2019).
Menurutnya, pemerintah daerah seharusnya melihat sampah bukan sebagai komoditas melainkan masalah yang harus dipecahkan sehingga perlu ada BPLS atau tipping fee. Dengan BPLS tersebut, pengelolaan sampah akan lebih mudah dan memberikan keuntungan bagi daerah setempat berupa listrik.
Kondisi ini pun membuat pengembangan PLTSa maju mundur. Seperti misalnya PLTSa di Bekasi berkpasitas 1,5 MW yang seharusnya beroperasi komersial tahun ini menjadi mundur. Pasalnya, PJBL untuk pembangkitan dengan nilai investasi US$53,5 juta tersebut belum juga terealisasi.
Selain di Surabaya dan Bekasi, terdapat sejumlah proyek PLTSa lain yang sudah dipetakan Kementerian ESDM, yakni di Surakarta, Denpasar, Jakarta, dan Palembang yang rata-rata akan beroperasi pada 2021-2022. Proyek PLTSa Surakarta 10 MW memiliki nilai investasi US$57,82 juta, PLTSa Denpasar 15-20 MW dengan nilai investasi US$120 juta, PLTSa Jakarta 35 MW US$345,8 juta, dan Palembang 20 MW US$120 juta.
Seluruh proyek PLTSa di atas sudah memiliki badan usaha pengembang dan tinggal melakukan pengajuan BPLS dan PJBL.
"Paling maju memang Surabaya, Bekasi harusnya tahun ini kita tunggu-tunggu realisasinya, yang lain rata-rata 2021-2022," katanya.
Selain kota-kota tersebut, ada beberapa daerah lain yang memiliki proyek PLTSa. Namun hingga saat ini belum memiliki Badan Usaha Pengembang.
Misalnya Tanggerang yang juga mempunyai protek PLTSa yang masih masuk tahap lelang dengan target beroperasi komersial pada 2022. Nilai investasi PLTSa di Tangerang adalah US$120 juta.
Beberapa daerah juga sedang melakukan penyusunan dokumen lelang seperi Bandung dan Tangerang Selatan dengan nilai investasi masing-masing U$245 juta dan US$120 juta yang ditarget beroperasi komersial pada 2022.
Sedangkan, Semarang, Makassar, dan Manado sedang melakukan penyusunan dokumen pra studi kelayakan. Proyek PLTSa di Semarang, Makassar, dan Manado masing-masing memiliki nilai investasi US$120 juta dengan target beroperasi komersial 2022.
Sutijastoto mengatakan berbagai upaya akan dilakukan pemerintah untuk mendorong realisasi PLTSa. Salah satunya lewat Peraturan Presiden (Perpres) 35 tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Ramah Lingkungan.
Pemerintah pusat bahkan siap melakukan subdidi pada BPLS sebesar 49%. Sementara itu, sisanya tetap dibayarkan oleh pemerintah daerah.
"Kami mendorong nanti kita akan buat pokja dengan gatrik [Dirjen Kelistrikan] untuk pelaksanaan PLTS Sampah," katanya.