Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku industri alat berat memerlukan pasokan tenaga ahli berkelanjutan karena teknologi yang terus berubah. Pasalnya ketersediaan tenaga ahli yang sesuai membuat industri semakin kompetitif.
Himpunan Industri Alat Berat Indonesia (Hinabi) menilai paradigma hubungan antara tenaga kerja dan perusahaan manufaktur telah berubah. Mulanya pekerja dinilai membutuhkan industri untuk bekerja, tetapi kini pelaku industrilah yang membutuhkan tenaga kerja.
Hinabi menyatakan pergeseran paradigma tersebut terjadi sejak 2015. Asosiasi telah memulai program kemitraan salah satu sekolah menengah kejuruan (SMK) di Jawa Tengah dengan PT Komatsu Indonesia.
Ketua Hinabi Jamaluddin mengatakan Komatsu menyerap 60 lulusan pertama hasil program tersebut. Pada tahun berikutnya, Komatsu sudah kehabisan lulusan dari SMK yang sama lantaran telah dipesan oleh pelaku industri alat berat lainnya sejak jauh hari.
Jamalauddin menilai cepatnya perubahan teknologi membuat pembaruan mesin pun semakin cepat. Hal tersebut membuat daftar keahlian yang harus dimiliki tenaga kerja pun bertambah. Oleh karena itu, peningkatan keahlian tenaga kerja sejak dini akan membuat life cycle cost (LCC) industri akan semakin kompetitif.
“Kalau di industri alat berat itu untuk proyek jangka panjang. Ujung-ujungnya ke cost, tapi bukan ke initial investing cost saja, tapi life cycle cost-nya itu yang lebih penting,” katanya kepada Bisnis, Rabu (7/8/2019).
Jamaluddin mengatakan LCC menjadi salah satu faktor yang membuat produk alat berat dalam negeri menjadi lebih kompetitif di pasar global. Walaupun tren digitalisasi dalam proses produksi terus meningkat, dia menilai industri domestik belum dapat terlepas dengan tenaga kerja.
Menurutnya, program kemitraan tersebut dapat meningkatkan ketersediaan tenaga kerja ahli sejak dini.
Pihaknya akan mendorong kemitraan tersebut untuk mencetak tenaga kerja di proses produksi welding, assembling, dan casting. Hal itu dilakukan lantaran industri alat berat didominasi oleh proses terebut, terlebih casting yang mendominasi proses produksi sebsar 20%-30%.