Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengusulkan adanya pembatasan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi untuk angkutan barang.
Mamit mengatakan dengan adanya disparitas harga yang cukup tinggi antara BBM nonsubsidi dan subsidi menyebabkan produk dengan harga murah yang dicari.
"Pengawasan untuk angkutan barang perlu ditingkatkan supaya tidak menggunakan BBM bersubsidi. Kalau dilihat di daerah, masih banyak angkutan barang yang memilih BBM bersubsidi," katanya, ketika dihubungi Bisnis.com, Rabu (17/7/2019).
Menurutnya, dengan konsumsi BBM bersubsidi yang melebihi 50 persen kuota selama paruh pertama 2019, memang patut dikhawatirkan pada akhir tahun realisasinya melebihi target. Mamit menambahkan dengan mempertimbangkan harga minyak Indonesia (Indonesian crude price/ICP) dan kondisi keuangan, wajar jika PT Pertamina (Persero) menginginkan adanya penyesuaian harga.
"Kalau dari pemerintah, karena sudah terlanjur ngomong tahun ini tidak naik, ya sepertinya tidak dinaikkan," katanya.
Namun, setelah adanya kepastian Presiden Joko Widodo untuk melanjutkan kepemimpinan hingga 2024, lanjut Mamit, seharusnya Kepala Negara berani menerbitkan kebijakan nonpopulis. "Kan katanya Jokowi tanpa beban," ujarnya.
Baca Juga
Berdasarkan data Badan Pengelola Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) konsumsi Solar mencapai 52 persen dari kuota yang ditetapkan atau sebesar 7,56 juta kiloliter (KL) pada Januari - Juni 2019.
Sama seperti solar, realisasi konsumsi Premium pun sudah lebih dari separuh kuota tahun ini. Volume konsumsi Premium tercatat 5,87 juta KL sepanjang Januari - Juni 2019 atau 53,36 persen dari total kuota sebanyak 11 juta KL.
Sementara itu, konsumsi kerosene atau minyak tanah tercatat sebanyak 268.362 KL atau baru 44 persen dari kuota.