Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan yang ditargetkan untuk disahkan pada September 2019 menjadi perdebatan para pelaku industri dan akademisi kehutanan.
Beleid yang masuk program legislasi nasional (Prolegnas) sejak 2009 tersebut dalam pembahasannya dianggap belum melibatkan akademisi dan pelaku usaha kehutanan secara intensif.
Adapun beberapa pasal dalam rancangan kebijakan tersebut juga menyinggung kawasan hutan yang sudah diatur Undang-Undang UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan dan secara yuridis, substansi UU Kehutanan juga telah diperkuat dengan TAP MPR No. IX/MPR/2001.
TAP MPR tersebut dengan tegas membedakan antara hukum agraria (pertanahan) dengan pengelolaan sumber daya alam, termasuk di dalamnya sektor kehutanan, pertanian, perikanan, dan pertambangan.
Artinya, jika berpatokan pada TAP MPR, RUU Pertanahan tidak bisa mengatur terkait pengelolaan sumber daya alam, tetapi hanya dapat melengkapi UU Pokok Agraria Nomor 5/1960.
Purwadi Soeprihanto, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), menyampaikan ada empat pasal terkait kawasan hutan pada rancangan beleid tersebut, yakni pasal 23 terkait rencana tata ruang, pasal 63, pasal 64 dan pasal 66 terkait obyek pendaftaran tanah.
Baca Juga
Pada pasal 23, disebutkan bahwa kawasan hutan termasuk bagian dari kawasan yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang.
Menurut Purwadi, areal tata ruang pada pasal tersebut seharusnya hanya membahas lahan yang berada di luar kawasan hutan, karena pengelolaan kawasan hutan sudah diatur UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan.
“Jika berpatok pada UU Kehutanan, maka sebagai kesatuan ekosistem, hutan tidak hanya terkait dengan tanah tempat ruang tumbuhnya, tetapi memiliki berbagai fungsi sumber daya alam lainnya,” kata Purwadi kepada Bisnis, baru-baru ini.
Tak hanya itu, pihaknya juga keberatan dengan pasal 63 dan pasal 66 yang intinya menyatakan bahwa obyek pendaftaran tanah meliputi semua bidang tanah dan kawasan di seluruh wilayah Indonesia. Namun, apabila berpatokan pada UU kehutanan, kawasan hutan bukan merupakan objek pendaftaran tanah.
Pelaku usaha juga keberatan dengan pasal 64 RUU tersebut yang mewajibkan seluruh pihak terkait untuk melakukan pemetaan kembali pada lahan konsesi. Pasalnya, penataan batas dan penetapan wilayah konsesi kehutanan sudah dilakukan serta diintegrasikan melalui kebijakan satu peta (one map policy).
"Kalau ini diulang lagi [penataan batasnya] potensi high cost economy. Ini yang kami keberatan," ujar Purwadi.
Selain keberatan dengan pemetaan ulang, pelaku usaha kehutanan juga khawatir hal tersebut mengurangi luasan lahan konsesi yang sudah berizin, mengingat adanya perbedaan pandangan antara Kementerian ATR/BPN dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dia menilai jika hal tersebut terjadi, akan menimbulkan ketidakpastian usaha bagi pelaku industri kehutanan.
Senada, Forum Pimpinan Lembaga Pendidikan Tinggi Kehutanan Indonesia (FOReTIKA) juga meminta pengesahan RUU Pertanahan ditunda agar memberikan kesempatan kepada para pihak terkait, khususnya dari sektor kehutanan, untuk menyampaikan masukan secara komprehensif.
Gusti Hardiansyah, Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, mengatakan ada beberapa pasal dalam rancangan kebijakan tersebut yang perlu dikaji ulang karena substansinya belum selaras dengan UU Kehutanan.
Menurutnya, tidak hanya terkait sektor kehutanan, RUU Pertanahan juga masih belum mencakup kepentingan sektor berbasis lahan lainnya seperti pertambangan, perkebunan, dan sebagainya.
“Untuk sektor-sektor selain kehutanan [RUU Pertanahan], ini juga nabrak. Makanya, perlu pelibatan multipihak dalam pembahasannya,” kata Gusti kepada Bisnis, Jumat (12/7).
Contohnya, pada pasal 32 ayat 4 disebutkan Pemberian Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didahului dengan pemberian Hak Pengelolaan atas nama Kementerian. Dia menilai bunyi pasal ini dapat memperpanjang prosedur kepastian hukum atas tanah untuk dunia usaha.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR sekaligus Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Pertanahan Herman Khaeron menegaskan UU Pertanahan tidak akan mengurangi atau menghilangkan kewenangan kementerian lain.
Salah satunya terkait masalah konsesi kehutanan. Menurutnya, hal tersebut akan tetap menjadi ranah KLHK.
"Hanya harus terdaftar secara pasti, secara jelas, bloknya mana, ukurannya berapa, yang penting ada kepastian saja," ujarnya.
Belum Sepakat
Di sisi lain, Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil mengatakan semangat integrasi antar kementerian/lembaga yang tertuang pada rancangan kebijakan ini adalah aturan mengenai single land administration system atau SLAS.
"Jadi, kalau kami membuat peta tata batas, itu standarnya sama [supaya tidak tumpang tindih]," kata Sofyan.
Adapun peta wilayah antara kementerian/lembaga yang belum terintegrasi dengan baik kerap menimbulkan masalah tata kelola kawasan, seperti tumpang tindih, konflik lahan, dan sumber daya alam.
Kendati demikian, Direktur Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Sigit Hardwinarto menyampaikan selama ini pihaknya telah menjalankan kebijakan satu peta bekerja sama dengan Badan Informasi Geospasial (BIG).
“Kami saat ini koordinasinya dengan BIG untuk penyusunan peta tunggal dan sedang diolah Kemenko [Perekonomian]. Kalau masalah peta tunggal, [ATR/BPN] mau memetakan sendiri ya tidak apa-apa,” kata Sigit kepada Bisnis.
Kepastian mengenai RUU Pertanahan memang masih perlu ditunggu dalam beberapa waktu ke depan. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa pengelolaan suatu sektor, termasuk kehutanan, kerap diatur dalam lebih dari satu beleid yang beririsan.