Bisnis.com, JAKARTA -- Melebarnya defisit APBN pada semester I/2019 serta deviasi sejumlah asumsi makro dinilai belum tentu bisa diselamatkan melalui APBN Perubahan. Namun demikian, pemerintah diminta untuk mewaspadai kondisi pelebaran defisit anggaran tersebut.
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David E. Sumual menyatakan bahwa realisasi defisit pada semester I/2019 mencapai Rp135,8 triliun atau 0,84% dari Produk Domestik Bruto (PDB) perlu diwaspadai.
Apalagi jika dibandingkan dengan semester I/2018 angka ini meningkat. Pada semester I/2018 defisit APBN tercatat Rp110,6 triliun atau 0,75% dari PDB.
"Ini tercermin juga dari penerimaan pajak di bawah target. Defisit bisa melebar dari target 1,84% ke 1,9% dari PDB," ungkap David kepada Bisnis.com, Selasa (16/7/2019).
Adapun alternatif revisi target melalui APBD Perubahan dipandang David tidak akan efektif dan solutif. Pasalnya, dengan selisih 0,1% tidak ada pengaruh signifikan memperbaiki kondisi keuangan negara. Apalagi sulit bagi pemerintah untuk berharap pada kondusivitas perdagangan global yang tidak pasti.
"Permintaan atau demand pada utang kita relatif baik jadi risk captive investor masih baik. Yield obligasi turun jadi meski defisit melebar ini masih dalam batas wajar," ungkap David.
Baca Juga
Peneliti Bidang Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan juga menyatakan bahwa revisi target pada APBN 2019 masih potensial dilakukan. Utamanya untuk menghembat beberapa alokasi dana.
Beberapa opsi adalah revisi target perlu dilakukan menyesuaikan dengan perubahan harga minyak. Selain itu, pemerintah juga perlu merevisi alokasi belanja modal lebih besar ketimbang belanja barang.
Dia beralasan belanja barang kerap menjadi belanja barang tidak produktif karena tak memberi dampak ke ekonomi nasional.
"Belanja modal harus tetap karena itu ada multiplier efek terhadap ekonomi," tegas Abdul.