Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rupiah Menguat, Eksportir RI Mulai Waswas

Melemahnya nilai tukar dolar AS terhadap rupiah yang diperkirakan terus berlanjut pada tahun ini dan bakal menjadi tekanan tambahan bagi kinerja ekspor Indonesia.
Pelanggan keluar dari gerai penukaran uang asing di Jakarta./JIBI-Dwi Prasetya
Pelanggan keluar dari gerai penukaran uang asing di Jakarta./JIBI-Dwi Prasetya

Bisnis.com, JAKARTA -- Melemahnya nilai tukar dolar AS terhadap rupiah yang diperkirakan terus berlanjut pada tahun ini dan bakal menjadi tekanan tambahan bagi kinerja ekspor Indonesia.

Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan, saat ini nilai tukar dolar AS mengalami pelemahan lantaran munculnya komentar Kepala Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell mengenai perekonomian AS yang dibayangi pelambatan di sektor industri dan lemahnya sentimen berbisnis di AS.

Hal itu lanjutnya, memperkuat rencana The Fed untuk memangkas suku bunga acuannya pada tahun ini. Akibatnya, nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang di dunia pun melemah, termasuk terhadap rupiah.

Berdasarkan Bloomberg, rupiah  menjadi mata uang yang mencatatkan kinerja terbaik kedua di Asia,  di bawah ringgit Malaysia.

“Menguatnya nilai tukar rupiah akan menjadi kendala tersendiri bagi ekspor kita yang trennya sudah negatif sejak tahun lalu. Sebab harga produk kita di pasar global menjadi lebih mahal,” ujarnya kepada Bisnis.com, (11/7/2019).

Kondisi itu menurutnya, akan memperparah tekanan terhadap kinerja ekspor RI yang masih terbebani oleh sih rendahnya harga komoditas andalan ekspor Indonesia, yakni minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) di pasar global. 

Untuk itu, lanjutnya, pemerintah dan pengusaha harus mengantisipasi kondisi tersebut, terlebih Bank Indonesia juga masih mengindikasikan pemangkasan suku bunga acuannya pada tahun ini, yang akan berdampak kepada makin kuatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Adapun, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) total ekspor Indonesia sepanjang Januari-Mei 2019 menapai US$68,40 miliar atau turun 8,61% dari periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, pada periode yang sama ekspor nonmigas Indonesia juga mencatatkan penurunan sebesar 7,33% secara tahunan dengan mencapai US$63,11 miliar.

Direktur Kerja Sama Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Marolop Nainggolan mengatakan, mengakui daya saing produk ekspor Indonesia berpeluang terganggu apabila penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berlanjut pada sisa tahun ini.

“Untuk saat ini kami melihat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih berada pada batas wajar. Namun, tidak menutup kemungkinan nilai tukar rupiah kita akan terus naik ke depannya. Maka dari itu, kami dari pemerintah sudah mengantisipasi kondisi itu dengan sejumlah strategi,” katanya.

Menurutnya, langkah antisipatif yang dilakukan pemerintah saat ini dengan cara meningkatkan promosi dagang ke sejumlah negara. Dia menyebutkan, pemerintah sedang berusaha mempromosikan produk ekspor nontradisional asal Indonesia yang tidak diproduksi secara masal oleh negara lain, seperti buah-buahan dan kerajinan.

“Namun, di luar usaha kami untuk mempromosikan barang-barang Indonesia, pengusaha juga harus ikut berusaha, yakni dengan meningkatkan kualitas produknya. Kalau kualitas kita baik, berapapun harganya pasti akan diserap oleh negara lain,” jelasnya.

Dia menambahkan, produk hilir atau bernilai tambah jauh lebih tahan terhadap gejolak dari sisi global. Untuk itu, dia berharap dunia usaha memacu produksinya di sektor industri hilir atau bernilai tambah agar dapat bersaing di pasar global.

Sementara itu, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Rosan P. Roeslani mengatakan, para pengusaha telah menyadari adanya indikasi menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang akan berlanjut pada sisa tahun ini. 

“Para pengusaha sudah memiliki strategi tersendiri untuk menghadapi kondisi tersebut. Namun sejauh ini perkiraan pengusaha, penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sepanjang tahun ini masih akan bergerak di level yang normal dan bisa ditoleransi,” katanya. 

Namun demikian, dia berharap pemerintah tetap memberikan tambahan insentif bagi dunia usaha, terutama yang berbasis ekspor, agar dapat memproduksi barang secara lebih efisien. 

Hal senada dikatakan oleh Wakil Ketua Bidang Industri Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Johny Darmawan. Dia mengatakan, pemerintah perlu menambahkan insentif di sektor industri seperti menurunkan harga gas dan peningkatan keterampilan tenaga kerja domestik.

“Efisiensi akan menjadi cara paling efektif untuk tetap bersaing di pasar global, terutama jika rupiah terus menguat terhadap dolar AS. Kami mengapresiasi upaya pemerintah dalam merelaksasi sejumlah ketentuan perpajakan untuk komoditas ekspor, namun di sisi produksi juga perlu ada tambahan insentif,” tegasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper