Bisnis.com, JAKARTA -- Suppy Chain Indonesia menilai salah satu penyebab kinerja ekspor yang rendah yakni dukungan sistem logistik dan rantai pasok yang kurang optimal.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Mei 2019, Neraca Perdagangan Indonesia (NPI), secara kumulatif mengalami defisit yang berasal dari nilai total ekspor sebesar US$68,46 miliar dan nilai impornya sebesar US$70,60 miliar atau defisit US$2,14 miliar.
Terlepas dari kinerja ekspor dan impor minyak dan gas (migas), Chairman Suppy Chain Indonesia (SCI) Setiyadi menilai salah satu faktor penyebab kinerja ekspor yang rendah adalah dukungan sistem logistik dan rantai pasok yang tidak optimal.
"Sistem logistik berkaitan dengan pergudangan atau proses penyimpanan dan transportasi atau pengangkutan barang. Dari dua faktor itu, faktor transportasi di Indonesia berpengaruh dominan rata-rata sekitar 70% karena sistem yang tidak efisien," ungkapnya kepada Bisnis.com, Kamis (11/7/2019).
Menurutnya, inefisiensi ini ditandai dengan waktu pengiriman yang lama karena tingkat kemacetan yang tinggi atau perpindahan antarmoda yang tidak efisien.
Dia menjelaskan bagi perusahaan manufaktur, inefisiensi transportasi sangat memengaruhi kinerjanya karena transportasi dilakukan untuk pengiriman bahan baku (inbound) ke pabrik maupun pengiriman produk jadi (outbound) ke pelabuhan.
"Tingkat kemacetan antara lain disebabkan oleh keterbatasan kapasitas infratruktur, misalnya daya dukung jalan terhadap volume kendaraan, termasuk kemacetan antara pelabuhan dan kawasan industri," tuturnya.
Dia menilai dengan volume ekspor-impor Indonesia yang melalui Pelabuhan Tanjung Priok sekitar 65%, maka perlu peningkatan kelancaran antara pelabuhan itu dan kawasan-kawasan industri.
Setijadi menawarkan solusi lain berupa peningkatan penggunaan moda kereta api. Salah satu caranya adalah meningkatkan pengiriman barang melalui Cikarang Dry Port (CDP) bagi perusahaan-perusahaan di kawasan industri Cikarang, Cibitung, dan sekitarnya.
"Pembangunan pelabuhan alternatif seperti Patimban juga bisa mengurangi tingkat kemacetan jalan maupun kepadatan di Pelabuhan Tanjung Priok," jelasnya.
Adapun, inefisiensi logistik akan memengaruhi harga penjualan produk menjadi lebih tinggi dan berdampak terhadap daya saing, baik di dalam maupun luar negeri bagi industri berorientasi ekspor.
Di sisi lain, keberadaan pelabuhan alternatif memang dapat mendorong efisiensi karena peningkatan persaingan. Namun, jumlah pelabuhan yang lebih banyak mengakibatkan volume barang menjadi tersebar.
"Potensi kunjungan kapal berkapasitas besar ke pelabuhan menjadi turun sehingga akan meningkatkan biaya karena economy of scale pelabuhan turun," tukasnya.
Selain inefisiensi logistik, daya saing produk ekspor yang rendah juga dipengaruhi oleh inefisiensi sistem rantai pasoknya. Faktor yang sangat mempengaruhi kinerja rantai pasok produk atau komoditas di Indonesia adalah panjangnya rantai pasok itu.
Selain itu, kinerja rantai pasok menjadi rendah karena beberapa pihak dalam rantai pasok itu mengambil keuntungan tidak proporsional. "Peningkatan efisiensi sistem logistik perlu dilakukan dengan meningkatkan efisiensi dan kinerja dalam pergudangan dan transportasi melalui peningkatan kompetensi SDM, proses, dan teknologi," katanya.
Sementara itu, upaya perbaikan rantai pasok dapat dilakukan dengan memperpendek rantai pasok dengan mengurangi pihak-pihak yang kurang memberikan kontribusi atau mengintegrasikan proses bisnis di antara perusahaan-perusahaan terkait.
"Untuk penerapan manajemen rantai pasok diperlukan sharing data dan informasi antar pihak terkait. Hal ini seringkali terkendala masalah trust di antara pihak-pihak tersebut," paparnya.
Per 2019, Kementerian Perhubungan mencatat rata-rata biaya logistik di Indonesia mencapai 25% dari Produk Domestik Bruto (PDB) lebih tinggi dari Vietnam dan Malaysia. Angka tersebut lebih tinggi dari Vietnam dan Malaysia yang dapat mencapai 13%-15% dari PDB.
Pada 2018, peringkat Logistik Performance Index (LPI) Indonesia meningkat ke posisi 46 denagn skor 3,15 atau meningkat 17 peringkat dari sebelumnya di posisi 63 dengan skor 2,98. Dari semua aspek penilaian LPI 2018, aspek kabapeanan meraih skor terendah sebesar 2,67. Sementara itu, aspek penilaian tertinggi adalah ketepatan waktu (timeliness) dengan skor 3,67.
Aspek lainnya yaitu infrastruktur dengan skor 2,89, pengiriman barang internasional 3,23%, kualitas dan kompetensi logistik 3,10, pencarian barang (tracking/tracing) sebesar 3,30. Tahun 2016, posisi LPI Indonesia sebenarnya turun dari peringkat 53 dengan skor 3,08 (tahun 2014).
Sayangnya perbaikan peringkat ini masih kalah dari posisi negara-negara tetangga, Indonesia masih berada di bawah negara-negara Asean lainnya, seperti Singapura (7), Thailand (32), Vietnam (39), dan Malaysia (41).