Bisnis.com, JAKARTA—Defisit neraca minyak dan gas bumi yang telah terjadi akan semakin membebani negara karena sektor tersebut masih dianggap sebagai sumber devisa.
Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, mengatakan defisit neraca perdagangan akibat impor migas kali ini bukan pertama kalinya terjadi. Setidaknya dalam lima tahun terakhir, defisit neraca migas terus terjadi.
Dalam sidang kabinet paripurna di Istana Bogor, Senin (8/7/2019), Presiden Joko Widodo menegur Menteri ESDM dan Menteri BUMN karena defisit neraca perdagangan periode Januari-Mei 2019 mencapai US$2,14 miliar.
Pada periode Januari-Mei 2019, impor tercatat senilai US$70,6 miliar dan ekspor senilai US$68,46 miliar. Menurutnya, Indonesia juga mengalami defisit neraca perdagangan yang lebih besar pada tahun lalu, yaitu senilai US$8,7 miliar yang diakibatkan oleh naiknya permintaan migas serta dipengaruhi oleh kenaikan harga minyak global.
Koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas di sumber daya ekstraktif migas dan tambang ini pun menganggap persoalan defisit neraca migas merupakan masalah mendasar, sehingga memerlukan pembenahan secara integral.
Selain melakukan penghematan dan rasionalisasi penggunaan energi berbasis minyak, diperlukan transisi energi secara sistematis dan konsisten, agar terjadi diversifikasi energi dengan baik dan secara makro ekonomi tidak membebani fiskal.
Baca Juga
“Evaluasi terhadap defisit fiskal ini menjadi sangat penting. Defisit fiskal menunjukkan adanya anomali dalam pengelolaan energi nasional yang sangat bertumpu pada bahan bakar fosil. Migas juga masih dipandang sebagai komoditas dan sumber devisa, bukan menjadi trigger bagi pembangunan nasional,” katanya, dalam keterangan tertulis, Rabu (10/7/2019)
Menurut catatan PWYP Indonesia, konsumsi minyak nasional mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Dalam kurun 2005-2018, rata-rata laju pertumbuhan konsumsi minyak nasional sebesar 2 persen per tahun. Namun, penemuan cadangan dan kegiatan produksi pertumbuhannya negatif, yaitu -1,5 persen dan -2,6 persen.
Ke depan, produksi migas (lifting) nasional diperkirakan akan terus menurun sekitar 4 persen per tahun akibat sumur tua dan lokasi sumber daya yang terletak di daerah frontier, serta cadangan sumber daya migas yang semakin menurun.
Di sisi lain, investasi pada sumur sumur baru berjalan lambat, sehingga rentang waktu antara eksplorasi dan produksi juga semakin jauh.
“Dalam hal transisi energi, Indonesia juga belum memiliki peta jalan yang jelas dan implementasi transisi energi yang belum konsisten, sehingga defisit fiskal masih ditanggapi dengan pendekatan reaksi ekspor-impor semata,” tambahnya.