“Saya mau pamit,” begitu kalimat singkat yang diucapkan Mirza Adityaswara terkait dengan jabatannya yang akan berakhir sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.
Ekonom senior kelahiran Surabaya tahun 1965 ini telah dua periode menduduki posisi strategis di bank sentral. Tepatnya 5 tahun 10 bulan. Masa tersebut terbilang singkat bagi Mirza menjalankan amanah di Bank Indonesia.
Kiprahnya memang tak lepas dari perubahan yang terjadi pada nyaris 6 tahun silam. Kala itu Boediono harus meletakkan jabatan Gubernur Bank Indonesia karena terpilih sebagai Wakil Presiden, dan posisinya di bank sentral digantikan Darmin Nasution.
Posisi Darmin yang sebelumnya sebagai Deputi Gubernur Senior pun lowong dan baru diisi ketika Gubernur Bank Indonesia beralih dijabat oleh Agus Martowardojo. Nama Mirza yang saat itu sebagai Kepala Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pun dicalonkan Presiden sebagai salah satu kandidatnya.
“Saat itu diajukan dua nama, saya dan Anton Gunawan, terpilih saya lewat fit and proper DPR dan dilantik oleh Ketua MA Oktober 2013," kata Mirza di sela-sela Focus Group Discussion bersama Media Massa di Plataran Menjangan, Bali, Jumat (5/7/2019).
Selepas periode pertama yang hanya 10 bulan, Mirza dicalonkan kembali sebagai calon tunggal Deputi Gubernur Senior melalui fit dan proper test DPR, hingga kembali dilantik MA.
Pada tahun 2015, Mirza juga diamanahkan tugas tambahan sebagai Anggota Dewan Komisioner ex-officio Bank Indonesia di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ia menggantikan Halim Alamsyah yang selesai masa jabatannya sebagai Dewan Gubernur BI.
“Jabatan saya berakhir 24 Juli dan Presiden sudah mengajukan calon tunggal DGS yaitu ibu Destry Damayanti. Insya Allah kalau lancar semua, setelah 24 Juli ada DGS baru,” kata Mirza.
“Saya berterima kasih kepada media massa yang selama ini bersama kami mengkomunikasikan kebijakan Bank Indonesia,” dia menambahkan.
Dia mengenang saat dirinya menjabat posisi Deputi Gubernur Senior BI, kondisi ekonomi Indonesia menghadapi tantangan yang sangat berat.
Nilai tukar rupiah bergoyang cukup keras terimbas penguatan dolar AS, yang dipicu pernyataan Ben Bernanke, Chairman Federal Reserve yang mulai mengurangi stimulus dan menaikkan suku bunga di Negeri Paman Sam.
Dampak dari kebijakan The Fed membuat negara-negara dengan current account yang defisit serta inflasi yang melambung, termasuk Indonesia pun harus menanggung risiko ekonomi yang besar.
"Subsidi pada saat itu dikurangi dan Bank Indonesia juga harus mengurangi current account deficit, karena current account defisitnya lebih dari 4% PDB di kuartal II-2013. Jadi kita harus menaikkan suku bunga secara agresif dan pengetatan LTV (loan to value)," papar Mirza.
Pengetatan kebijakan baik fiscal dan moneter tersebut berdampak inflasi yang sempat naik di medio 2013-2014 serta arus keluar dana asing yang mengkhawatirkan.
"Kurs dari Rp10.000 ke Rp13.000 tapi itu sudah dengan suku bunga dinaikin, intervensi. Saya masih ingat bagaimana cadangan devisa kita turun sampai ke US$92 miliar. Jadi kalau nggak dikendalikan nggak tahu ke mana," kata Mirza.
Namun, obat pahit itu berbuah manis. Pada 2015, current account deficit berkurang menjadi 3% terhadap PDB dan bahkan pada 2016, posisinya semakin mengecil menjadi 2,5% terhadap PDB. Adapun inflasi semakin terkendali menjadi 3%-3,5% pada 2015, 2016, 2017 hingga 2018. Pengetatan pada 2013 direverse menjadi pelonggaran pada 2016-2017.
“Bukan suatu era yang mudah. Kami menghadapi tekanan dari pengusaha dan politikus saat pengetatan kebijakan, tetapi kami terus berkomunikasi,” ungkap Mirza.
Bagi pria yang mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi diraih dari Universitas Indonesia dan memperoleh gelar Master of Applied Finance dari Macquarie University, Sydney, Australia tersebut, komunikasi sebenarnya merupakan instrument kebijakan.
Menurutnya, suatu kebijakan yang bagus tanpa komunikasi yang baik tidak akan menghasilkan output yang bagus pula.
“Karena itu kami secara regular berkomunikasi dengan media massa, ekonom dan pelaku financial market. Sekali lagi, saya berterima kasih atas supportnya,” kata Mirza.
“Kami yang di BI berkomitmen bahwa transparansi dan komunikasi kebijakan adalah penting. Kami percaya komunikasi yang baik akan hasilkan output yang baik bagi kebijakan Bank Indonesia.”
Setelah 24 Juli, Mirza Adityaswara tidak lagi menjabat di kursi Deputi Gubernur Senior, dia berharap media massa dan pemangku kepentingan lainnya terus memberikan dukungan kepada Bank Indonesia dalam menjalankan kebijakan moneternya di era yang tantangannya masih juga tidak mudah.