Bisnis.com, JAKARTA -- Survei ekonom Bloomberg terbaru menyimpulkan bahwa ekonomi Inggris kemungkinan akan menghadapi penurunan untuk pertama kalinya sejak 2012 pada kuartal kedua tahun ini.
Prediksi kontraksi 0,1% menandai penurunan peringkat dari Juni, ketika para ekonom masih cukup optimistis dan memperkirakan stagnasi.
"Survei tersebut dilakukan ketika data industri ritel melaporkan penurunan penjualan berkelanjutan dan menggambarkan proyeksi yang suram," seperti dikutip melalui Bloomberg, Selasa (9/7/2019).
Jajak pendapat tersebut dilakukan menyusul sejumlah laporan ekonomi Inggris yang menunjukkan pelemahan seperi data PMI yang melaporkan bahwa industri jasa dominan hampir tidak tumbuh sepanjag Juni.
Sementara itu, sektor konstruksi dan manufaktur menghadapi kontraksi lanjutan.
Pekan lalu, Gubernur Bank Sentral Inggris Mark Caney memperingatkan bahwa ketegangan perdagangan global dan meningkatnya ancaman no-deal Brexit telah meningkatkan risiko penurunan pertumbuhan.
Baca Juga
Para ekonom memperkirakan bahwa data resmi yang akan dirilis pekan ini diperkirakan menunjukkan rebound ke 0,3% pada Mei, setelah kontraksi 0,4% pada April.
Namun, menurut perhitungan Bloomberg, untuk mencapai perkiraan tersebut ekspansi 0,8% pada Juni hanya untuk mengembalikan hasil flat untuk kuartal secara keseluruhan.
Dalam laporan terpisah, British Retail Consortium melaporkan bahwa penjualan ritel turun 1,6% pada Juni dari tahun sebelumnya.
"Itu lebih buruk daripada perubahan rata-rata dalam 12 bulan terakhir," kata perwakilan BRC.
Prospek yang memburuk, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, juga telah membuat investor dan ekonom menyatakan ulang seruan mereka untuk penyesuaian suku bunga Inggris.
Pasar telah memprediksi pemotongan suku bunga berikutnya pada pertengahan 2020, sementara survei terbaru menunjukkan para ekonom tidak melihat pergerakan yang lebih tinggi hingga kuartal kedua 2021.