Bisnis.com, JAKARTA - Ekonomi Indonesia kemungkinan akan berekspansi dengan laju lebih lambat dari proyeksi sebelumnya. Demi memacu pertumbuhan, Bank Indonesia (BI) memiliki banyak ruang untuk memangkas suku bunga acuannya dalam beberapa bulan mendatang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan perang perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China telah memukul ekspor Indonesia, membatasi impornya, dan menggerus harga komoditas.
“Semua itu adalah risiko penurunan yang akan dihadapi Indonesia ketika kita berbicara tentang proyeksi pertumbuhan,” ungkapnya dalam sebuah wawancara dengan Bloomberg Television di London pada Selasa (25/6/2019).
Ekonomi Indonesia, lanjutnya, diproyeksikan tumbuh antara 5,17 persen dan 5,2 persen tahun ini.
Pemerintah sebelumnya memperkirakan ekonomi akan tumbuh 5,3 persen tahun ini. Namun, perselisihan perdagangan yang memburuk antara AS dan China membatasi prospek itu, sementara juga memberikan tekanan pada defisit transaksi berjalan.
Menurut Sri Mulyani, pemerintah Indonesia memiliki ruang fiskal untuk mendorong pertumbuhan, tetapi harus berhati-hati untuk memastikan setiap langkah konsisten dengan reformasi struktural yang diupayakannya.
“Kami menggunakan instrumen-instrumen fiskal dengan cara yang sangat fleksibel dan cekatan untuk merangsang investasi sektor swasta, apakah itu dalam infrastruktur atau di sektor lain yang memiliki prioritas,” papar Menkeu.
Negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, melihat peluang-peluang dari perang perdagangan ketika banyak perusahaan berusaha untuk memindahkan produksi mereka dari China guna menghindari tarif AS yang lebih tinggi.
Indonesia dikatakannya ingin meningkatkan iklim investasinya untuk mengambil keuntungan dari kondisi tersebut. Ia yakin Indonesia dapat menarik lebih banyak investasi langsung luar negeri.
“Di masa lalu, industrialisasi kami lebih mandiri ketimbang menjadi bagian dari rantai pasokan global. Dan itu akan membuat menarik investasi ke Indonesia jauh lebih sulit,” jelasnya.
Berbicara soal prioritas pemerintah, Menkeu mengatakan Indonesia harus mengembangkan sumber daya manusianya, meningkatkan infrastruktur, dan menyederhanakan peraturan-peraturan.
Pemerintah fokus pada bagaimana membangun lingkungan di Indonesia yang sama dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya atau bahkan lebih menarik bagi investor-investor asing.
“Salah satu tantangannya adalah memastikan bahwa otoritas lokal di seluruh kepulauan selaras dengan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat,” tutur wanita yang beberapa kali dinobatkan sebagai menteri keuangan terbaik ini.
Ruang untuk Manuver
Pada 2018, Bank Indonesia menjadi salah satu bank sentral yang paling agresif di Asia. Sepanjang tahun itu, BI mengerek suku bunga acuannya sebanyak enam kali dengan total 175 basis poin di tengah gejolak yang dihadapi pasar negara berkembang (emerging market) saat itu.
Meski bank sentral lain di kawasan ini, mulai dari Australia hingga India, telah mulai melonggarkan kebijakan moneternya tahun ini, BI telah mengambil pendekatan yang lebih hati-hati.
Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) terkini pada 19-20 Juni, BI memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuannya, BI 7 Day Reverse Repo Rate, sebesar 6 persen.
Menkeu melihat BI memiliki banyak ruang untuk benar-benar bermanuver pada paruh kedua tahun 2019. BI dinilainya akan menemukan waktu yang tepat untuk mengambil langkah.
Bagaimanapun, menurutnya, kebijakan ekonomi makro tidak dapat menggantikan reformasi struktural yang diperlukan.
“Pemerintah perlu menyediakan area bagi semua pihak untuk memiliki kepercayaan dan stabilitas,” pungkas Menkeu.