Bisnis.com, SYDNEY - Industri daging dan peternakan sapi Australia optimistis dengan potensi perdagangan Indonesia ke depan dengan tingkat pertumbuhan yang semakin kuat.
Selama kurun 2015—2018, Indonesia menjadi salah satu pasar ekspor utama daging dan sapi ternak Australia dengan pertumbuhan rerata 14%.
Ellen Rodgers, International Business Manager Meat & Livestock Australia (MLA) mengatakan bahwa kalangan industri di Australia optimistis dengan peluang dagang yang dapat dikembangkan dengan mitranya di Indonesia dan perdagangan itu akan menghasilkan pertumbuhan yang kuat.
Lebih lanjut, Ellen mengatakan meningkatnya pendapatan kelas menengah di Indonesia berdampak pada peningkatan konsumsi daging di suatu negara.
Menurutnya, pertumbuhan permintaan daging sapi itu juga akan sama-sama terjadi di pasar ritel (modern) serta pasar basah (tradisional).
“Namun kami mencermati, ke depannya akan terjadi pergeseran dari kaum muda Indonesia diperkirakan akan lebih banyak belanja di gerai ritel, tidak lagi ke pasar basah. Hal ini lantaran mereka mencari [tempat] lebih nyaman dalam berbelanja dan juga produk [daging sapi] dengan lebih premium,” ujarnya kepada Bisnis, dalam rangkaian MLA Media Immersion Trip 27—30 Mei 2019.
MLA merupakan badan riset dan pengembangan serta pemasaran yang mewakili industri daging merah dan peternakan sapi Australia. Badan yang menempatkan tim khusus yang berkedudukan di Jakarta ini berperan mempromosikan dan membuka akses yang mendukung industri dalam hal ini produsen daging merah dan sapi ternak Australia dengan importir atau industri ternak sapi di Tanah Air.
MLA juga memiliki kerja sama yang erat dengan pemerintah Indonesia untuk memastikan kemitraan terbangun, di samping kerja sama antarpemerintah yang telah terjalin oleh kedua negara Australia—Indonesia melalui kesepakatan perdagangan bebas, Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA).
Ellen juga percaya bahwa prospek hubungan perdagangan daging dan sapi ternak yang menjadi bagian kesepakatan perdagangan bebas akan cerah di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Australia Scott Morrison.
“Kami yakin kesepakatan dagang ini akan sukses diratifikasi dalam 6 bulan ke depan,” ujarnya.
Di samping kerja sama antarpemerintah, MLA juga menaruh harapan besar peluang kemitraan dalam kerja sama antarbisnis atau B-to-B (business-to-business).
“Banyak eksportir kami yang ingin kerja sama yang lebih erat dengan importir Indonesia dan begitu pula sebaliknya dalam mengembangkan strategi baru yang berkaitan dengan produk sapi lokal maupun produk sapi Australia.”
Indonesia, masih menjadi pasar kunci bersama Singapura, Malaysia, Vietnam, Filipina dan Thailand di Asia Tenggara.
Linh Nguyen, Market Intelligence Analyst Meat & Livestock Australia, menyebutkan selama kurun waktu 2015—2018, Asia Tenggara menjadi wilayah tujuan ekspor daging sapi Australia nomor dua terbesar di dunia, dengan nilai A$798 juta untuk daging sapi dan senilai A$874 juta untuk sapi ternak.
Berdasarkan data ekspor daging sapi Australia ke pasar Asia Tenggara yang dikutip dari Department of Agriculture and Water Resources (DAWR) Australia, selama 2015—2018, pasar Asia Tenggara mencatat pertumbuhan 10%.
Secara terperinci, Vietnam merupakan pasar tujuan ekspor daging sapi Australia yang tumbuh paling tinggi yaitu 43% per tahun, dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Dia memaparkan bahwa Indonesia menyusul dengan pertumbuhan 14% per tahun, diikuti Filipina yang menempati urutan kedua dengan pertumbuhan 13%, diikuti Thailand 3% serta negara lainnya dengan tingkat pertumbuhan 2%. Adapun Singapura mencatat penurunan pertumbuhan 11% dan Malaysia mengalami penurunan 4%.
Sementara itu pada 2018, menurut paparan MLA yang bersumber pada data Biro Statistik Australia, dari sisi nilai ekspor daging sapi Australia ke Asia Tenggara, Indonesia menguasai pangsa pasar paling besar dengan pangsa 38% dan nilai A$317 juta, diikuti Filipina (22%) dengan nilai perdaganganA$181 juta, Singapura (11%) dengan nilai A$88 juta, Vietnam (10%) dengan nilai A$84 juta, Malaysia (10%) dengan nilai A$83 juta, Thailand (8%) dengan nilai A$70 juta serta negara lainnya dengan 1% dengan nilai A$12 juta.