Bisnis.com. JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyambut positif hasil audit BPK yang telah memberikan opini wajar tanpa pengecualian atau WTP.
Kendati demikian, pemerintah juga memperhatikan isu-isu yang menjadi catatan BPK. Dari sisi komposisi belanja misalnya, harus diakui sepertiga dari alokasi belanja dibelanjakan melalui transfer ke daerah itu tidak tercatat di neraca pemerintah.
“Tentu hal ini mempengaruhi dari sisi kemampuan kita untuk menunjukkan belanja pemerintah terlihat di dalam neraca keuangannya pemerintah pusat. Karena memang prinsip daerah belum terkonsolidasi laporan keuangannya," kata Sri Mulyani di DPR, Selasa (28/5/2019).
Seperti diketahui BPK memberikan sejumlah catatan dalam LKPP tahun 2018. Pertama, terdapat beberapa capaian yang positif terhadap target Asumsi Dasar Ekonomi Makro Tahun 2018 yang ditetapkan dalam APBN 2018, yatu realisasi inflasi sebesar 3,13% dari target 3,50% dan tingkat bunga Surat Perbendaharaan Negara 3 bulan sebesar 5% dari target 5,2 pct.
Namun, pemerintah tidak dapat mencapai target terhadap beberapa indikator, yaitu pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 5,17% dari target 5,4%, lifting minyak hanya mencapai 778 ribu barel per hari dari target sebanyak 800 ribu barel per hari, dan lifting gas hanya mencapai 1.145 ribu barel per hari dari target 1.200 ribu barel per hari.
Kedua, rasio utang pemerintah pusat terus mengalami peningkatan sejak tahun 2015, meskipun rasio utang tersebut masih di bawah ambang batas 60% dari PDB. Peningkatan rasio utang dimulai sejak 2015 s.d. 2017 pada tahun 2015 sebesar 27,4 %, tahun 2016 sebesar 28,3 pct, tahun 2017 29,93%.
Namun, pada 2018 rasio utang menurun menjadi 29,81%. Peningkatan rasio utang tersebut tidak lepas dari realisasi pembiayaan utang dari tahun 2015-2018 yaitu sebesar Rp380 triliun pada tahun 2015, Rp403 triliun pada tahun 2016, Rp429 triliun pada tahun 2017, dan Rp370 triliun pada tahun 2018.
Ketiga, realisasi belanja subsidi tahun 2018 sebesar Rp216 triliun melebihi pagu anggaran yang ditetapkan APBN sebesar Rp156 triliun dan meningkat sebesar Rp50 triliun dibandingkan dengan tahun 2017.
Selain itu, terdapat penyediaan bahan bakar minyak dan listrik oleh badan usaha melalui skema subsidi maupun skema penugasan, yang harga jualnya ditetapkan Pemerintah di bawah harga keekonomian.
"Tapi keseluruhan saya rasa positif yang disampaikan BPK, beberapa temuan akan kita tindaklanjuti sesuai mekanisme yang selama ini juga kita atur. Kita sangat serius untuk menindaklanjuti temuan," tegasnya.