Bisnis.com, JAKARTA—Sejumlah asosiasi pelaku usaha menyatakan minat swasta untuk berinvestasi mengembangkan Ibu Kota Negara yang baru.
Namun, syarat utama yang harus dipenuhi ialah kejelasan regulasi untuk memastikan keberlanjutan proyek secara hukum.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menuturkan, rencana memindahkan Ibu Kota Negara merupakan ide positif, karena menciptakan pertumbuhan baru di satu daerah.
Baca Juga
Pelaku usaha tentunya tertarik ikut serta dalam rencana pengembangan perkotaan.
Namun demikian, ada sejumlah hal yang harus diperhatikan terkait kesinambungan mega proyek tersebut.
Pertama, perlu ada payung hukum yang jelas untuk jangka panjang, sehingga proses pengembangan dapat berjalan dalam sejumlah periode pemerintahan.
“Payung hukumnya supaya nyambung dengan pemerintahan ke depan. Karena bisa 20 tahun bangun kota. Konsistensi itu diperlukan, jangan sampai pemerintahan berikutnya tidak berjalan,” tuturnya kepada Bisnis, baru-baru ini.
Faktor kedua yang perlu diperhatikan ialah desain tata ruang. Selama ini, salah satu kendala dalam pengembangan proyek ialah persoalan lahan. Bila tata ruang sudah dikunci, permasalahan lahan bisa diminimalkan.
Fokus utama lahan ialah untuk perumahan untuk pegawai dan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Jika harganya sudah naik seperti di kota-kota besar, pemenuhan kebutuhan papan menjadi tantangan berat.
Menurut Hariyadi, tidak masalah jika Presiden Jokowi meminta swasta membangun Ibu Kota baru, sehingga tidak membebani APBN. Yang terpenting perseoalan regulasi dan tata ruang sudah jelas.
“Pak Jokowi bilang biar yang bangun swasta, sehingga tidak mengganggu APBN. Menurut saya itu bagus aja, tidak masalah. Kalau sudah jelas perencanaannya seperti apa, pasti ada aja pengusaha yang mau masuk, mau mengembangkan,” paparnya.
Dari sisi lokasi, dia setuju salah satu wilayah di Kalimantan Tengah menjadi Ibu Kota Baru. Pertimbangannya ialah daerah masih terbuka, sehingga membuat perencanan tata kota lebih mudah dibandingkan yang sudah berkembang.
Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata menuturkan, dalam pengembangan Ibu Kota baru pemerintah perlu melibatkan stake holder yang ahli masing-masing bidang untuk bekerja sama, termasuk pelaku usaha.
Sebagai ‘Kepala Proyek’, pemerintah dapat menentukan peran masing-masing stake holder, seperti pihak swasta, akademisi atau peneliti, BUMN, dan perbankan.
“Kalau kita jadi patner [untuk pembangunan Ibu Kota baru], dari swasta bisa berperan, ya kita siap. Tinggal berbagi tugas saja dimana-mananya. Pengusaha tentunya tertarik karena nantinya ada captive market yang menjadi pasar,” tuturnya.
Dari sisi properti, sebuah kota tentunya membutuhkan hunian, gedung, ruang komersil, ruang pertemuan, hotel, pusat perbelanjaan, sarana rekreasi, dan sebagainya. Di sinilah pengusaha properti dapat berperan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.