Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pindah Ibu Kota, Pemerintah Gunakan Skema KSP

Pemerintah akan menerapkan skema kerja sama pemanfaatan (KSP) bagi bangunan kantor kementerian, lembaga, dan institusi di Jakarta yang nantinya akan ditinggalkan ketika 'bedol' ibu kota dimulai 2024.
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi sejumlah pejabat terkait melihat peta kawasan salah satu lokasi calon ibu kota negara saat peninjauan di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Rabu (8/5/2019)./ANTARA-Akbar Nugroho Gumay
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi sejumlah pejabat terkait melihat peta kawasan salah satu lokasi calon ibu kota negara saat peninjauan di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Rabu (8/5/2019)./ANTARA-Akbar Nugroho Gumay

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah akan menerapkan skema kerja sama pemanfaatan (KSP) bagi bangunan kantor kementerian, lembaga, dan institusi di Jakarta yang nantinya akan ditinggalkan ketika 'bedol' ibu kota dimulai 2024.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menuturkan, skema KSP ini dapat dilakukan dengan menyewakan gedung perkantoran yang akan ditinggalkan tersebut melalui kontrak jangka panjang.

"Sehingga pemerintah bisa mendapatkan revenue dalam bentuk PNBP [penerimaan negara bukan pajak] dari upaya pengelolaan tersebut," tegas Bambang di Gedung Bina Graha, Senin (13/05). Menurut Bambang, PNBP tersebut dapat dikelola untuk membiayai keperluan pemindahan ibu kota.

Seperti diketahui, biaya pemindahan ibu kota mencapai sekitar Rp400 triliun-Rp500 triliun. Sejauh ini, pemerintah telah memiliki desain pengembangan ibu kota baru tersebut yang disusun oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Adapun, Bambang menuturkan pemerintah telah meninjau dua lokasi dari empat atau lima lokasi yang diajukan. Dua lokasi tersebut yakni Kalimantan Timur dan Gunung Mas, Kalimantan Tengah.

Anggota DPR RI Komisi XI M. Misbakhun menuturkan, jika mengacu pada UU Keuangan Negara pelepasan aset pemerintah harus melalui persetujuan DPR RI.

"Ini tentu memerlukan legislasi primer. Lex specialis-nya akan ketemu dan terbuka," papar Misbakhun. Namun, Misbakhun menegaskan transparasinya harus berjalan karena keputusan yang diambil kelak akan memiliki kekuatan mengikat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Hadijah Alaydrus
Editor : Tegar Arief
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper