Bisnis.com, JAKARTA - Regulator persaingan usaha diminta untuk mewaspadai gejala perilaku persaingan usaha tidak sehat di bisnis Ojek Online (Ojol).
Hal itu seiring diberlakukannya secara penuh Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat dan Keputusan Menteri Perhubungan RI Nomor KP 348 Tahun 2019 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat Yang Dilakukan Dengan Aplikasi.
“Walau tarif sudah ada aturannya, tapi ada gejala di lapangan aplikator perang diskon, perang harga, dan promosi. Nah disini harus berperan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),” jelas Pengamat dari Masyarakat Transporasi Indonesia Djoko Setijowarno, Jakarta, Rabu (8/5)..
“Perhubungan cuma bisa menentukan. Kalau soal pengawasan atau ada masalah di implementasi tarif yang menjurus ke persaingan usaha tak sehat ada di KPPU,"katanya.
Sebelumnya, Research Institute of Socio-Economic Development (RISED) menyatakan kenaikan tarif ojol berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 348 tahun 2019 ternyata mayoritas ditolak konsumen (75%).
Kenaikan tarif ojol yang signifikan paling besar ditolak oleh masyarakat Jabodetabek.
Berdasarkan hasil riset yang melibatkan 3.000 pengguna ojol, 67% masyarakat menolak dalam zona I (non-Jabo, Bali dan Sumatera), 82% masyarakat menolak dalam zona II (Jabodetabek), dan 66% masyarakat menolak di zona III (wilayah sisanya).
Penolakan terjadi karena 72% pengguna ojek online berpendapatan menengah ke bawah, terutama yang berdomisili di Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya. Rata-rata kesediaan konsumen untuk mengalokasikan pengeluaran tambahan hanya sebesar Rp 5.200 per hari untuk warga Jabodetabek dan Rp 4.900 per hari untuk non-Jabodetabek. Di sisi lain, kenaikan tarif bisa mencapai Rp 6.000 hingga Rp 15.000 per hari.